BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laporan keuangan
merupakan hasil akhir dari serangkaian siklus akuntansi. Definisi akuntansi
menurut Jusup (1994) akuntansi pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan
mencatat, menggolongkan, meringkas, melaporkan dan menganalisis data keuangan
suatu organisasi. Transaksi merupakan kejadian yang mempunyai nilai ekonomis
bagi perusahaan. Kejadian ini dicatat dalam jurnal dan secara periodik dicatat
dalam buku besar. Pada akhir periode, saldo-saldo dari semua rekening-rekening
di buku besar dihitung dan dicantumkan dalam neraca lajur. Neraca lajur
merupakan alat bantu untuk menyusun laporan keuangan.
Laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan
idealnya meliputi laporan neraca, laba rugi, perubahan modal, arus kas, laporan
investasi oleh dan distribusi kepada pemilik, dan catatan atas laporan keuangan
(Hendriksen dan Breda, 2000). Hal ini dimaksudkan agar laporan keuangan
tersebut dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang kinerja dan
kekayaan suatu perusahaan. Namun biasanya perusahaan membuat laporan keuangan
yang terdiri dari laporan neraca, dan laporan laba rugi.
Laporan
keuangan dibuat dengan dasar kejujuran, dan netral (artinya, laporan keuangan
dibuat tidak berdasarkan atas “pesanan” dari pemilik atau manajemen). Ada
banyak pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan yang dikeluarkan oleh
perusahaan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia,
2002), pihak-pihak tersebut antaran lain Investor, karyawan, pemberi pinjaman,
pemasok dan kreditor usaha lainnya, pelanggan, pemerintah, dan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis
merumuskan rumusan makalah sebagai berikut.
1.
Apa yang dimaksud dengan laporan
keuangan?
2.
Apa tujuan dari laporan keuangan?
3.
Apa manfaat dari laporan keuangan?
4.
Siapa pengguna laporan keuangan?
5. Apa saja syarat-syarat
(karakteristik kualitatif) dalam laporan keuangan?
6. Apa saja komponen dalam laporan
keuangan?
C. Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah di
atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk:
1.
Mengetahui
dan memahami
apa yang
dimaksud dengan laporan keuangan.
2.
Mengetahui
dan memahami apa
tujuan dari laporan keuangan
3.
Mengetahui
dan memahami
manfaat dari
laporan keuangan?
4.
Mengetahui dan memahami siapa pengguna
laporan keuangan?
5.
Mengetahui dan memahami apa
saja syarat-syarat (karakteristik kualitatif) dalam laporan keuangan.
6.
Mengetahui dan memahami apa
saja komponen dalam laporan keuangan
D. Kegunaan makalah
Makalah ini
disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara
praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep dalam
laporan keuangan.
Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai
wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya tentang konsep laporan
keuangan.
2. Pembaca, sebagai
media informasi tentang konsep laporan keuangan baik secara teoritis maupun secara
praktis.
E. Prosedur makalah
Makalah ini disusun
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif.
Melalui metode ini penulis akan menguraikan permasalahan yang dibahas secara
jelas dan komprehensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan
menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil data melalui kegiatan
membaca berbagai literatur yang relevan dengan tema makalah. Data tersebut
diolah dengan teknik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data serta
mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema
makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teoretis
Penanaman
Modal Asing
atau (PMA) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli
total atau mengakuisisi perusahaan.Penanaman Modal di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang
ini yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam
modal asing, baik menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan
dengan penanam modal dalam negeri (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal).
Penanaman Modal Asing (PMA) lebih
banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya jangka panjang, banyak
memberikan adil (andil) dalam alih teknologi, alih keterampilan manajemen,
membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini, sangat penting bagi negara
sedang berkembang mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah untuk penyediaan
lapangan kerja. (Wikipedia)
Menurut Jhinggan
Penanaman modal asing adalah Penanaman Modal Asing
(PMA) dapat diartikan sebagai penanaman modal yang dilakukan oleh pihak swasta
di negara asal pemilik modal, atau penanaman modal suatu negara ke negara lain
atas nama pemerintah negara pemilik modal.
Penanaman modal merupakan langkah awal
kegiatan produksi. Dengan posisi semacam itu, investasi pada hakekatnya juga
merupakan langkah awal kegiatan pembangunan. Dinamika penanaman modal mempengaruhi
tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya pembangunan
(Dumairy, 1999).
Demikian menurut Jhinggan (1990), negara
berkembang tidak sanggup mengawali industri dasar dan industri kunci secara
sendiri-sendiri. Sekali lagi melalui modal asinglah mereka dapat mendirikan
pabrik baja, alat-alat mesin, pabrik elektronika berat dan kimia, dan
lain-lain. Lebih dari itu, penggunaan modal asing pada suatu industri akan
dapat mendorong perusahaan setempat dengan mengurangi biaya pada industri-industri
lain yang dapat mengarah pada perluasan mata rata industri terkait lainnya.
Dalam hal ini modal asing akan membantu mengindustrialisasikannya.
Utang luar negeri
atau pinjaman luar negeri,
adalah sebagian dari total utang
suatu negara yang diperoleh dari para kreditor
di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah,
perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari
bank
swasta, pemerintah
negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF
dan Bank Dunia.
Menurut Tribroto (2001), pinjaman luar
negeri pada hakekatnya dapat ditelaah dari sudut pandang yang berbeda -
beda. Dari sudut pandang pemberi pinjaman atau kreditur, penelaahan akan
lebih ditekankan pada berba gai faktor yang memungkinkan pinjaman itu kembali
pada waktunya dengan perolehan manfaat tertentu. Sementara itu penerima
pinjaman atau debitur, penelaahan akan ditekankan pada berbagai faktor
yang memungkinkan pemanfaatannya secara maksimal dengan nilai t ambah dan
kemampuan pengembalian sekaligus kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan
perekonomian yang lebih tinggi.
Dari aspek materiil, utang luar negeri
merupakan arus masuk modal dari luar ke dalam negeri yang dapat menambah
modal yang ada di dalam negeri. Aspek fomal mengartikan utang luar negeri
sebagai penerimaan atau pemberian yang dapat digunakan untuk meningkatkan
investasi guna menunjang pertumbuhan
ekonomi. Sehingga berdasarkan aspek fungsinya,
pinjaman luar negeri merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan
yang diperlukan dalam pembangunan.
Menurut Sukirno (1985), aliran dana dari
luar negeri dinamakan utang luar negeri, apabila memiliki ciri - ciri
merupakan aliran modal yang bukan didorong oleh tujuan untuk mencari
keuntungan, dan diberikan dengan syarat yang lebih ringan dari pada yang
berlaku dalam pasar internasional.
Utang luar
negeri merupakan bentuk hubungan kerjasama antara negara debitur dengan
negara kreditur dan merupakan cara yang efektif dalam menutupi defisit
anggaran pemerintah dimana risiko kebangkrutan ekonomi
yang ditimbulkan dari utang luar negeri relatif lebih kecil bila
dibandingkan dengan pencetakan uang (seignorage) yang dapat menimbulkan
inflasi (Mulyani, 1994).
Disamping sebgai bentuk hubungan
kerjasama utang luar negeri juga merupakan sumber modal bagi negara yang
sedang melakukan pembangunan ekonomi, tak terkecuali negara yang kaya
sumber daya alam dan memiliki penduduk yang besar, seperti Indonesia
(Mahyudi, 2004).
Utang luar negeri bagi negara berkembang
merupakan variabel yang banyak memiliki dampak terhadap perekonomian suatu
negara, baik positif (seperti yang dikemukakan oleh Stoneman,1975; Dowling
dan Hiemenz, 1983; Papanek, 1972) maupun negatif ( seperti yang
diungkapkan oleh teori dependensia dan Hanovi 2009) dan apabila
pengelolaannya dilakukan dengan tidak baik, utang luar negeri akan menjadi
masalah bagi pemerintah, karena utang luar negeri yang terlalu besar dapat
membawa pembangunan ekonomi
ke dalam perangkap utang (debt trap) sehingga baanyak bergantung kepada
negara kreditur (Mahyudi, 2004 ; Bullow-Rogoff ,1990).
Pemanfaatan hutang luar negeri sebagai
sumber pembiayaan pembangunan sudah menjadi bagian tak terpisahkan
dari pembangunan khususnya negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia (Syaparuddin, 1996).
Pertumbuhan
ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan
barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran
masyarakat meningkat.
Pertumbuhan
ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara.
Tingkat produktivitas suatu negara bisa juga dilihat dari pertumbuhan
ekonominya. Melalui Produk Domestik Bruto (PDB) pertumbuhan ekonomi suatu
negara bisa dilihat seberapa besar barang atau jasa yang dihasilkan. Menurut
Mankiw (2006:6) Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan jumlah produk berupa
barang atau jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah
suatu negara (domestik) selama satu tahun. Sistem ekonomi yang dianut oleh
suatu negara akan menentukan seberapa besar peran pemerintah dalam proses
pertumbuhan, dan disertai dengan kebijakan yang dilakukan. Dalam konsep
ekonomi, terdapat kebijakan fiskal yang merupakan pengelolaan anggaran
pemerintah (budget) yang terdapat dalam anggaran pendapatan belanja negara
(APBN) dalam rangka mencapai tujuan pertumbuhan. (Hyman, 2005:474).
Keberhasilan pertumbuhan suatu negara juga ditentukan oleh berbagai faktor yang
dimiliki masing-masing negara, salah satunya ketersediaan sumber daya baik
sumber daya modal dan sumber daya manusia (Anwar, 2012).
Pertumbuhan
ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau
pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang
bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain
adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita.
Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output
riil per orang (Boediono, 1981:2). Sementara itu, Kuznets dalam Jhingan
(2012:57) mendefenisikan petumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang
dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan
semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan
ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan
ideologis yang diperlukannya. Sukirno (2004:50), menjelaskan “pada dasarnya
dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya dihitung berdasarkan
pertambahan yang sebenarnya dari barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan
suatu perekonomian”. Formula yang digunakan untuk menghitung tingkat
pertumbuhan ekonomi adalah: g = PN-riil1 – PN-riil0 x 100% PN-riil0 Dimana; g : pertumbuhan ekonomi PN riil1 :pendapatan
nasional tahun dihitung PN-riil0 :pendapatan nasional tahun sebelumnya Terdapat
satuan ukur sebagai dasar dalam menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Menurut Sukirno (2006:35), PDB merupakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor produksi
yang dimiliki warga negara maupun warga negara asing dalam suatu negara.
Pertumbuhan ekonomi dapat diukur menggunakan indikator pertumbuhan PDB rii.
B. Pembahasan
1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi dan Modal Asing
Pertumbuhan
ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan
barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran
masyarakat meningkat.
Pertumbuhan
ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara.
Tingkat produktivitas suatu negara bisa juga dilihat dari pertumbuhan
ekonominya. Melalui Produk Domestik Bruto (PDB) pertumbuhan ekonomi suatu
negara bisa dilihat seberapa besar barang atau jasa yang dihasilkan. Menurut
Mankiw (2006:6) Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan jumlah produk berupa
barang atau jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah
suatu negara (domestik) selama satu tahun. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu
negara akan menentukan seberapa besar peran pemerintah dalam proses
pertumbuhan, dan disertai dengan kebijakan yang dilakukan. Dalam konsep
ekonomi, terdapat kebijakan fiskal yang merupakan pengelolaan anggaran
pemerintah (budget) yang terdapat dalam anggaran pendapatan belanja negara
(APBN) dalam rangka mencapai tujuan pertumbuhan. (Hyman, 2005:474).
Keberhasilan pertumbuhan suatu negara juga ditentukan oleh berbagai faktor yang
dimiliki masing-masing negara, salah satunya ketersediaan sumber daya baik sumber
daya modal dan sumber daya manusia (Anwar, 2012).
Pertumbuhan
ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau
pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang
bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain
adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita.
Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output
riil per orang (Boediono, 1981:2). Sementara itu, Kuznets dalam Jhingan
(2012:57) mendefenisikan petumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang
dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan
semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan
ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan
ideologis yang diperlukannya. Sukirno (2004:50), menjelaskan “pada dasarnya
dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya dihitung berdasarkan
pertambahan yang sebenarnya dari barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan
suatu perekonomian”. Formula yang digunakan untuk menghitung tingkat
pertumbuhan ekonomi adalah: g = PN-riil1 – PN-riil0 x 100% PN-riil0 Dimana; g : pertumbuhan ekonomi PN riil1 :pendapatan
nasional tahun dihitung PN-riil0 :pendapatan nasional tahun sebelumnya Terdapat
satuan ukur sebagai dasar dalam menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi negara
tersebut. Menurut Sukirno (2006:35), PDB merupakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh
faktor produksi yang dimiliki warga negara maupun warga negara asing dalam
suatu negara. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur menggunakan indikator
pertumbuhan PDB rii.
Penanaman Modal Asing atau (PMA) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli
total atau mengakuisisi perusahaan.Penanaman Modal di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang
ini yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam
modal asing, baik menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan
dengan penanam modal dalam negeri (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal).
Penanaman Modal Asing (PMA) lebih
banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya jangka panjang, banyak
memberikan adil (andil) dalam alih teknologi, alih keterampilan manajemen,
membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini, sangat penting bagi negara sedang
berkembang mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah untuk penyediaan lapangan
kerja. (Wikipedia)
Menurut Jhinggan
Penanaman modal asing adalah Penanaman Modal Asing
(PMA) dapat diartikan sebagai penanaman modal yang dilakukan oleh pihak swasta
di negara asal pemilik modal, atau penanaman modal suatu negara ke negara lain
atas nama pemerintah negara pemilik modal.
Penanaman modal merupakan langkah awal
kegiatan produksi. Dengan posisi semacam itu, investasi pada hakekatnya juga
merupakan langkah awal kegiatan pembangunan. Dinamika penanaman modal
mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya
pembangunan (Dumairy, 1999).
Demikian menurut Jhinggan (1990), negara
berkembang tidak sanggup mengawali industri dasar dan industri kunci secara
sendiri-sendiri. Sekali lagi melalui modal asinglah mereka dapat mendirikan
pabrik baja, alat-alat mesin, pabrik elektronika berat dan kimia, dan
lain-lain. Lebih dari itu, penggunaan modal asing pada suatu industri akan
dapat mendorong perusahaan setempat dengan mengurangi biaya pada
industri-industri lain yang dapat mengarah pada perluasan mata rata industri
terkait lainnya. Dalam hal ini modal asing akan membantu
mengindustrialisasikannya.
Menurut Boediono (1990:44) dalam teori makro
Keynes, keputusan suatu investasi akan dilaksanakan atau tidak, tergantung pada
perbandingan antara besarnya keuntungan yang di harapkan (yang menyatakan dalam
persentase satuan waktu) di suatu pihak dan biaya penggunaan dana atau tingkat
bunga di pihak lain. Apabila tingkat bunga yang berlaku di pasar uang sebesar
2% setiap bulan (atau 24% setahun), sedangkan keuntungan yang di harapkan
sebesar 50% maka investasi tersebut masih menguntungkan karena keuntungan
(kotor) yang di harapkan 50% jadi melebihi ongkos pendanaan dapat dikatakan 50%
- 24% = 26% pertahun untuk 10 tahun. Maka jika pengusaha tersebut “rasional”
investasi tersebut akan dilaksanakan secara ringkas :
a. Jika keuntungan yang diharapkan (MEC)
lebih besar dari pada bunga, maka investasi di laksanakan.
b. Jika MEC lebih kecil dari pada tingkat
bunga maka investasi dilaksanakan.
c. Jika MEC = tingkat bunga maka investasi
bisa dilaksanakan dan bisa juga tidak.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
investasi pada suatu negara. Salah satu faktor yang cukup mempengaruhi PMA
adalah makroekonomi. Dengan tujuan untuk meminimalisirkan resiko investasi para
investor harus memperhatikan faktor makroekonomi suatu negara, cara mengambil
keputusan yang tepat, dan menentukan
bentuk PMA apa yang sesuai untuk dilakukan di suatu negara. (Sukirno,
2006:123). Menurut Madura (2007:463) mengatakan bahwa faktor-faktor utama yang
mempengaruhi PMA adalah sebagai berikut: 1) Perubahan dalam pembatasan foreign
direct investment 2) Privatisasi 3) Potensi pertumbuhan ekonomi 4) Tingkat
pajak 5) Nilai tukar
2. Konsep Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah sebagai suatu ukuran kuantitatif yang
menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu
apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, Ekonomi Pembangunan,
2011 ; 9) Suatu perekonomian dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika
jumlah barang dan jasa meningkat. Jumlah barang dan jasa dalam perekonomian
suatu negara dapat diartikan sebagai nilai dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Nilai PDB ini digunakan dalam mengukur persentase pertumbuhan ekonomi Suatu
negara. Perubahan nilai PDB akan menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang
dan jasa yang dihasilkan selama periode tertentu. Selain PDB, dalam suatu
negara juga dikenal ukuran PNB (Produk Nasional Bruto ) serta Pendapatan
Nasional (National Income). Defenisi PDB yaitu seluruh nilai tambah yang
dihasilkan oleh berbagai sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan
usahanya di suatu domestik atau agregat. Salah satu kegunaan penting dari
data-data pendapatan Nasional adalah untuk menentukan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang dicapai suatu negara dari tahun ke tahun. Dalam penghitungan
pendapatan nasional berdasarkan pada harga-harga yang berlaku pada tahun
tersebut. Apabila menggunakan harga berlaku, maka nilai pendapatan nasional
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan
tersebut dikarenakan oleh pertambahan barang dan jasa dalam perekonomian serta
adanya kenaikan-kenaikan harga yang berlaku dari waktu ke waktu. Pendapatan
nasional berdasarkan harga tetap yakni perhitungan pendapatan nasional dengan
menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun (tahun dasar) yang seterusnya
digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun
berikutnya. Nilai pendapatan nasional yang diperoleh secara harga tetap ini
dinamakan pendapatan nasional riil. Unuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi
akan selalu digunakan formula berikut: (Sukirno, Ekonomi Pembangunan, 2011 ; 9)
g = GDP1 – GDP0
X 100
GDP0
Di mana : g = Tingkat ( Presentase ) pertumbuhan
ekonomi
GDP1 = (gross domestic product atau produk
domestic bruto atau dengan ringkas: PDB) adalah pendapatan nasional rill-yaitu
pendapatan nasional yang dihitung pada harga tetap yang dicapai dalam suatu
tahun ( tahun 1 ) GDP0 = Adalah pendapatan nasional rill pada tahun sebelumnya
(tahun 0).
3.Faktor Non Ekonomi dalam Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi juga sangat tergantung pada faktor-faktor non
ekonomi. Faktorfaktor non ekonomi
tersebut menyangkut masalah politik, sosial, budaya dan keamanan nasional.
Ketidakstabilan politik dan konflik sosial yang terjadi akan mengganggu laju
pertumbuhan ekonomi suatu negara, ditambah lagi dengan tidak adanya rasa aman
bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Kondisi kerawanan negara akibat
situasi non ekonomi dinamakan dengan country risk. Tingginya country risk suatu
negara akan dapat menjadi penyebab utama tidak stabilnya kondisi makro ekonomi
suatu negara. Arus investasi asing akan berkurang dengan tajam apabila terjadi
country risk yang semakin meningkat. Selain itu, nilai tukar mata uang suatu
negara juga sangat tergantung padacountry risk. Pemerintah merupakan aktor yang
berperan sebagai pemegang kunci dalam menurunkan tingkat country risk, kinerja
pemerintah yang baik akan membawa perekonomian kearah yang lebih baik pula dan
sebaliknya apabila pemerintah tidak mampu menurunkan country risk maka mustahil
perekonomian akan membaik dari waktu ke waktu.
4.Sistem Perekonomian Terbuka (Open Economy)
Perekonomian terbuka merupakan sebuah sistem ekonomi dimana orang-orang
secara bebas terlibat dalam perdagangan barang dan jasa serta memungkinkan
adanya arus masuk dan keluar faktor-faktor produksi. Dengan sistem ekonomi
terbuka, suatu negara bisa melakukan pengeluaran lebih banyak ketimbang
produksinya dengan meminjam dana dari luar negeri, atau bisa melakukan
pengeluaran lebih kecil ketimbang produksinya dengan memberi pinjaman kepada
negara lain. Perekonomian terbuka juga memungkinkan adanya alokasi sumber daya
dimana di setiap negara memiliki kelimpahan faktor produksi yang berbeda-beda.
Adanya pengalokasian ini akan memberi dampak positif bagi setiap negara yang
membuka negaranya untuk sistem perekonomian bebas
5.Arus Barang Internasional
Dalam perekonomian tertutup, seluruh output dijual ke pasar domestik dan
pengeluaran dibagi atas tiga komponen, yaitu konsumsi, investasi, dan
pengeluaran pemerintah. Dalam perekonomian terbuka, sebagian output dijual ke
pasar domestik dan sebagian lagi diekspor ke luar negeri, sehingga dalam
perekonomian terbuka, pengeluaran (Y) terdiri dari empat komponen, yakni
konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G) serta ekspor barang
dan jasa (X). Hal ini dapat diidentitaskan seperti berikut : Y = C + I + G + X.
Dalam perekonomian terbuka, nilai konsumsi total adalah nilai konsumsi barang
dan jasa di pasar domestik ditambah konsumsi barang dan jasa di mancanegara,
demikian pula dengan investasi dan pengeluaran pemerintah. Karena impor
dimasukkan ke dalam pengeluaran domestik dan karena barang dan jasa yang
diimpor dari luar negeri adalah bagian dari output suatu negara maka persamaan
ini mengurangi pengeluaran pada impor sehingga dapat didefinisikan bahwa ekspor
bersih (net export/NX) adalah nilai ekspor dikurang nilai impor. Identitasnya
menjadi Y = C + I + G + NX. Persamaan di atas merupakan fungsi pendapatan
nasional yang dihitung berdasarkan pos pengeluaran. Persamaan ini juga
menunjukkan bahwa jika output melebihi pengeluaran domestik, maka kelebihan itu
akan diekspor. Jika output lebih kecil dari pengeluaran domestik, maka
kekurangan itu akan diimpor
6. Konsep Penanaman Modal Asing
7. Fungsi Penanaman Modal Asing bagi Indonesia
- Sumber dana modal asing dapat dimanfaatkan untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
- Modal asing dapat berperan penting dalam penggunaan dana untuk perbaikan structural agar menjadi lebih baik lagi.
- Membantu dalam proses industrilialisasi yang sedang dilaksanakan.
- Membantu dalam penyerapan tenaga kerja lebih banyak sehingga mampu mengurangi pengangguran.
- Mampu meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat.
- Menjadi acuan agar ekonomi Indonesia semakin lebih baik lagi dari sebelumnya.
- Menambah cadangan devisa negara dengan pajak yang diberikan oleh penanam modal.
8.Tujuan Penanaman Modal Asing
- Untuk mendapatkan keuntungan berupa biaya produksi yang rendah, manfaat pajak lokal dan lain-lain.
- Untuk membuat rintangan perdagangan bagi perusahaan-perusahaan lain
- Untuk mendapatkan return yang lebih tinggi daripada di negara sendiri melalui tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sistem perpajakkan yang lebih menguntungkan dan infrastruktur yang lebih baik.
- Untuk menarik arus modal yang signifikan ke suatu negara
9. Faktor yang Mempengaruhi Berkurangnya PMA
- Instabilitas Politik dan Keamanan.
- Banyaknya kasus demonstrasi/ pemogokkan di bidang ketenagakerjaan.
- Pemahaman yang keliru terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah serta belum lengkap dan jelasnya pedoman menyangkut tata cara pelaksanaan otonomi daerah.
- Kurangnya jaminan kepastian hukum.
- Lemahnya penegakkan hukum.
- Kurangnya jaminan/ perlindungan Investasi.
- Dicabutnya berbagai insentif di bidang perpajakkan
- Masih maraknya praktek KKN
- Citra buruk Indonesia sebagai negara yang bangkrut, diambang disintegrasi dan tidak berjalannya hukum secara efektif makin memerosotkan daya saing Indonesia dalam menarik investor untuk melakukan kegiatannya di Indonesia.
- Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia
10. Kebijakan Pemerintah Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia
Pemerintah selalu mengupayakan arus
modal masuk ke Indonesia semakin besar, ini diharapkan agar sesuai dengan
semakin meningkatnya dana yang dibutuhkan untuk pembangunan, terutama untuk
pembangunan di bidang ekonomi. Sesuai dengan kebutuhan dana pembangunan
tersebut, maka pemerintah selalu berusaha untuk menarik dana investor asing
dengan memberikan berbagai kemudahan melalui berbagai kebijakan.
Adapun kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah tentang penanaman modal asing yaitu Undang-Undang no.1 tahun 1967.
Penanaman modal asing (PMA) yang dimaksudkan hanya investasi yang meliputi
penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut ketentuan
Undang-Undang yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia. Dengan
pengertian bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko atas penanaman
modal asing tersebut. Adapun yang dibahas pada Undang-Undang ini antara lain
adalah: 1. Undang-Undang ini dengan jelas tidak mengatur perihal kredit atau
peminjaman modal, melainkan hanya mengatur tentang Penanaman Modal Asing. 2.
Dengan demikian memberi kemungkinan perusahaan-perusahaan tersebut dijalankan
dengan modal asing sebelumnya. 3. Penanaman modal secara langsung (direct
investment) dalam hal ini bukan hanya modal tetapi juga kekuasaan dan
pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak asing, sepanjang segala sesuatunya
memperoleh persetujuan dari pemerintah Indonesia dan sejauh mana kebutuhannya
tidak melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. 4. Penggunaan kredit dan
resikonya ditanggung oleh investor tersebut. Penanaman modal asing dalam
Undang-Undang ini juga sebagai alat pembayaran luar negeri yang bukan merupakan
bagian dari devisa Indonesia. Alat-alat perusahaan termasuk penemuan-penemuan
baru milik orang asing serta bahan-bahan yang dimasukkan dari luar negeri ke
wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut dibiayai oleh kekayaan devisa
Indonesia. Bagian dari perusahaan yang berdasarkan Undang-Undang ini
diperkenankan ditransfer tetapi digunakan untuk membiayai kembali perusahaan di
Indonesia.
.
11. Variabel Penanaman Modal Asing
Nilai
t-statistik untuk variabel penanaman modal asing yaitu sebesar 3.688056.
Apabila dibandingkan dengan nilai t tabel, maka dapat dilihat bahwa nilai
t-hitung variabel ini lebih kecil dari batas kanan t-tabelnya dengan ketentuan df(, n-k)
0,01;19 = 2.53948, maka dapat disimpulkan bahwa variabel penanaman modal asing
signifikan secara statistik mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Hal ini jika penanaman modal asing naik 1% akan menyebabkan kenaikan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0.081035. Dengan masuknya penanaman modal asing ke
suatu negara maka akan meningkatkan produksi melalui transfer teknologi
sehingga jumlah produksi dari barang dan jasa akan semakin meningkat dan
berdampak pada peningkatan infrastruktur. Hal ini akan mempermudah bagi
perusahaan yang ditanamkan modalnya oleh asing dalam proses pendistribusian
yang bertujuan untuk meminimalisir perbedaan harga yang dialami oleh beberapa
wilayah di Indonesia. Apabila hal tersebut bisa teratasi maka tingkat konsumsi
di masyarakat akan baik dan akan membantu dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Sebagaiamana
penelitian sebalumnya yang dilakukan oleh Syafaat Fachriza Agma (2015) yang
menghasilkan bahwa penanaman modal asing mempunyai hubungan signifikan positif
terhadap pertumbuhan ekonomi.
`
Ho tidak ditolak Ho ditolak
2.53948
3.688056.
12. Utang Luar Negeri
Utang
luar negeri dapat dilihat sebagai sumber
pendapatan. Menurut Yustika (2009:122) menjelaskan bahwa efektifitas
pemanfaatan ULN diperuntukkan dalam menangani kesenjangan tabungan atau investasi
dan ketimpangan neraca pembayaran untuk membantu negara berkembang dalam
melaksanakan pembangunan yang mandiri. Kondisi perekonomian di negara
berkembang yang belum stabil memaksa pemerintah untuk melakukan ULN sebagai
salah satu sumber pendanaan. Melihat dari sisi neraca pembayaran, ULN dapat
menutup kesenjangan ekspor dan impor sehingga mampu mengurangi penggunaan stok
nasional (Boediono, 2000:84).
Penurunan stok nasional memberikan indikasi
defisit sehingga pemerintah melakukan kebijakan ULN sebagai pengganti stok
nasional dalam menanggulangi kesenjangan impor dalam neraca pembayaran.
Kekurangan sumber daya berupa devisa atau tabungan domestik, salah satunya bisa
didapat dari pinjaman luar negeri atau utang luar negeri. Pendekatan inilah
yang disebut sebagai analisis bantuan luar negeri dua kesenjangan (two-gap
model) ini mengatakan bahwa negara berkembang pada umumnya menghadapi kendala
keterbatasan tabungan domestik yang jauh dari mencukupi untuk menggarap segenap
peluang yang investasi yang ada, serta kelangkaan devisa yang tidak memungkinkan
mengimpor barang-barang modal dan antara yang penting bagi usaha
pembangunannya. Secara umum model ini berasumsi bahwa kekurangan dan
kesenjangan (antara persedian dan kebutuhan) tabungan (saving gap) serta kesenjangan devisa (foreign-exchange
gap) itu tdak sama bobotnya, dan satu
sama lain berdiri sendiri. Kekurangan tabungan tidaklah dapat digantikan oleh
cadangan devisa begitu juga sebaliknya, kekurangan devisa tidak pula dapat
dipenuhi oleh tabungan dalam negeri. Secara matematis, model dua kesenjangan
secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Kesenjangan Tabungan
Dimulai dengan suatu persamaan atau identitas atas hubungan antara pemasukan
modal (misalnya, selisih antara ekspor-impor) dan dengan sumbersumber yang
dapat digunakan untuk investasi, dengan tingkat investasi, dengan tingkat
investasi domestik, yang dapat di tulis sebagai berikut :
I < F + Sy Dimana F adalah jumlah arus
pemasukan modal. Seandainya nilai F ditambah sY lebih besar dari I, dan
perekonomian itu tengah berada dalam kondisi full employment, maka bisa
dipastikan bahwa tengan terjadi kesenjangan di tabungan negara tersebut.
2)
Kesenjangan Devisa Jika setiap unit investasi yang dilakukan oleh negara –
negara berkembang menyebabkan kenaikan impor sebesar m1, yakni pangsa impor
marjinal ( marginal impor share ) di kebanyakan negara berkembang, pangsanya ini berkisar dari 30 sampai 60
persen dan kecenderungan marjnal terhadap impor ( marginal propensity to impor)
akibat naiknya 1 unit PDB dengan parameter m2, maka kesenjangan devisa itu
dirumuskan sebagai berikut : (m1 – m2) I + m2Y – E < F Simbol E melambangkan
tingkat ekspor eksogen. Faktor F dalam kedua ketidaksamaan diatas merupakan
faktor krisis dalam analisis. Jika F, E dan Y diberikan nilai secara eksogen
(ditentukan dari luar), maka salah satu dari ketidaksamaan diatas menjadi
faktor penghambat investasi akan tertekan menjadi lebih rendah oleh salah satu
ketidaksamaan tersebut. Dengan demikian penerapan rumus tersebut setiap negara
akan dapat
Jurnal
Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 58 No. 2
Mei 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id 159
diketahui
masalah utamanya, apakah kesenjangan tabungan atau kesenjangan devisa. Hal ini
yang lebih penting menurut sudut analisis pinjaman luar negeri adalah
bahwasanya dampak peningkatan arus modal asing akan lebih besar di negara yang
tengah mengalami kesenjangan tabungan ( persamaan 1 ) daripada di negara yang
mengalami kesenjangan devisa ( persamaan 2 ). Namun hal ini tidaklah berarti
bahwa negara-negara yang mengalami kesenjangan tabungan tidak membutuhkan utang
luar negeri. Model dua kesenjangan inilah merupakan metodologi yang bersifat
garis besar untuk menentukan kebutuhan serta kemampuan relatif dari masing-
masing negara berkembang dalam mengunakan pinjaman luar negerinya secara
efektif. (Michael P. Todaro, 1998 : 169).
13. Konsep Utang Luar Negeri (Foreign Debt)
Utang luar
negeri dapat diartikan berdasarkan berbagai aspek. Berdasarkan aspek materiil,
pinjaman luar negeri merupakan arus masuk modal dari luar negeri ke dalam
negeri yang dapat digunakan sebagai penambah modal di dalam negeri. Berdasarkan
aspek formal, pinjaman luar negeri merupakan penerimaan atau pemberian yang
dapat digunakan untuk meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan berdasarkan aspek fungsinya, pinjaman luar negeri merupakan
salah satu alternatif sumber pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan
(Tribroto dalam Muhammad Iqbal, 2001) Laffer Curve Theory ini menggambarkan
efek akumulasi utang terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut teori ini, pada
dasarnya utang diperlukan pada tingkat yang wajar. Penambahan utang akan
memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi sampai pada titik batas
tertentu. Pada kondisi tersebut utang luar negeri merupakan kebutuhan normal
setiap negara. Namun, pada saat stock utang telah melebihi batas tersebut maka
penambahan utang luar negeri mulai membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Pinjaman luar
negeri ini tergantung pada syarat-syarat pinjaman dari bantuan yang
bersangkutan, yakni menyangkut tingkat suku bunga (interest rate), masa
tenggang waktu (grace period) – jangka waktu yang tidak perlu dilakukan
pencicilan utang serta jangka waktu pelunasan utang (amortization period) –
jangka waktu dimana pokok utang harus dibayar lunas kembali secara cicilan.
Dalam neraca pembayaran suatu negara, current account cukup dipengaruhi oleh
tabungan dan investasi. Jika tabungan nasional lebih kecil dari pada investasi
domestik maka selisih tersebut merupakan defisit transaksi berjalan. Tabungan
nasional di beberapa negara berkembang umumnya sangat rendah karena umumnya
negara berkembang miskin akan modal. Sedangkan peluang investasi produktif
begitu melimpah. Untuk memanfaatkan peluang investasi ini, kebanyakan
negara-negara yang sedang berkembang tidak hanya mengandalkan sumber-sumber
pembiayaan pembangunannya dari dalam negeri saja tetapi juga bantuan luar
negeri. Pinjaman luar negeri tersebut nantinya diharapkan dapat dilunasi
melalui keuntungan dari investasi baik pinjaman pokok maupun pembayaran bunga
pinjamannya. Pinjaman atau bantuan luar negeri dapat berupa pinjaman pemerintah
resmi seperti official development assistance (ODA), yakni pinjaman yang
diberikan oleh pemerintah asing maupun lembaga-lembaga keuangan internasional
(multilateral) kepada pemerintah penerima bantuan yang dapat bersyarat lunak maupun
kurang lunak. Selain itu dapat berupa non official development assistance
(non-ODA), yakni pinjaman yang diterima secara bilateral dari bank atau
kreditor luar negeri dengan syarat-syarat menurut pinjaman komersial atau
syarat-syarat berat, termasuk kredit ekspor dari luar negeri. Pinjaman luar
negeri ini tergantung pada syarat-syarat pinjaman dari bantuan yang
bersangkutan, yakni menyangkut tingkat suku bunga (interest rate), masa
tenggang waktu (grace period) – jangka waktu yang tidak perlu dilakukan
pencicilan utang serta jangka waktu pelunasan utang (amortization period) –
jangka waktu dimana pokok utang harus dibayar lunas kembali secara cicilan.
Transaksi pinjam meminjam di atas kertas memang kelihatannya menguntungkan
kedua belah pihak yang terlibat. Tetapi banyak pinjaman juga yang tidak bisa
dibenarkan. Seperti contoh, ada yang menggunakan untuk sektor investasi yang
secara ekonomis tidak memberi keuntungan, atau impor barang konsumsi yang tidak
menghasilkan laba untuk pembayaran nantinya. Selain itu juga rendahnya tingkat
bunga nasional diakibatkan penerapan kebijakan yang keliru sehingga membuat
suatu negara semakin tergantung pada utang luar negeri. Untuk menentukan dan
mengatur terlaksananya pengelolaan pinjaman luar negeri yang baik dan efektif
perlu dilakukan berbagai hal, antara lain yaitu:
1.Memproyeksikan
secara teliti profil waktu dari kewajiban-kewajiban pembayaran utangnya.
2.Memperkirakan
penerimaan hasil ekspor, penerimaan dalam negeri dan akses di masa mendatang
dalam berbagai sumber pembiayaan.
3.Memonitor
potensi-potensi untuk pembayaran kembali utang-utangnya. Ketiga hal ini
bertujuan untuk mengambil manfaat dari pinjaman baru dengan syaratsyarat yang
lebih baik, menyesuaikan jangka waktu pelunasan utang terhadap penerimaan yang
dihasilkan proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman, serta menanggulangi
kekurangan-kekurangan hasil ekspor dalam membiayai kekurangan impor.
14. Bentuk – Bentuk Pinjaman Luar Negeri
Bentuk pijaman luar negeri dapat dilihat dari dua aspek, antara lain :
- Sumber Dananya
Bila dilihat dari suber dananya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi:
- Pinjaman Multilateral
Yaitu pinjaman yang berasaal dari badan-badan internasional, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB). - Pinjaman Bilateral
Yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara baik yang tergabung dalam CGI maupun antar negara secara langsung (intergovernment). - Pinjaman Sindikasi
Yaitu pinjaman yang diperoleh dari beberapa bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) internasional. Pemberian pinjaman tersebut dikoordinir oleh satu bank/LKBB yang bertindak sebagai sindication leader. Pinjaman ini biasanya dalam jumlah besar dan bersifat komersial (commercial loan), misalnya dengan tingkat suku bunga yang mengambang (floating rate). Syarat-syarat pinjaman yang dituangkan dalam loan agreement merupakan konsensus dan kesepakatan diantara para pemberi pinjaman.
- Segi Persyaratannya,
Bila dilihat dari segi persyaratannya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi :
- Pinjaman Lunak
(Concessional Loan)
Yaitu pinjaman luar negeri Pemerintah dalam rangka pembiayaan proyek-proyek pembangunan. Pinjaman lunak biasanya diperoleh dari negara-negara yang tergabung dalam kerangka CGI maupun non CGI. Pengertian dengan dana sendiri atau dana pendampingan oleh Pemerintah RI. Fasilitas Kredit Ekspor dapat dalam bentuk Suppliers Credit atau Buyers Credit.
Buyers Credit adalah pinjaman FKE yang diterima dari bank komersial atau lembaga keuangan bukan bank luar negeri, dimana tujuan pinjaman tersebut adalah untuk pembelian barang dari negara pemberi pinjaman.
Suppliers Credit adalah adalah pinjaman FKE yang diterima Pemerintah langsung dari pemasok barang (supplier) di luar negeri kepada Pemerintah RI yang akan diberikan dalam bentuk barang untuk keperluan proyek. Dapat diartikan bahwa dalam suppliers credit ini, pihak yang menerima pinjaman adalah pihak pemasok barang.
- Purchase Installment
Sale Agreement (PISA)
Yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan leasing untuk pembiayaan proyek pembangunan tertentu yang dituangkan dalam bentuk persetujuan jual beli dengan pembayaran angsuran. Besarnya pinjaman PISA adalah 100% dari nilai proyek. - Pinjaman Komersial
(Commercial Loan)
Yaitu pinjaman yang diterima dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar modal internasional. Pinjaman ini lazim pula disebut cash loan karena pinjaman diterima dalam bentuk uang tunai dan penggunaannya lebih fleksibel atau tidak mengikat. Jumlah pinjaman komersial umumnya berjumlah besar karena pemberi pinjaman berupa sindikasi yang anggotanya terdiri atas perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internasional.
Beberapa pertimbangan bagi Pemerintah dalam menerima pinjaman komersial adalah:
- Mendukung penganekaregaman (diversifikasi) pinjaman atau memperluas
- sumber pinjaman yaitu memperoleh pinjaman dari perbankan dan lembaga keuangan bukan bank.
- Jumlah pinjaman
relatif lebih besar dan tatacara penarikannya lebih mudah.
Penggunaan dana tidak terikat pada satu proyek tertentu namun lebih - flesibel, baik untuk diinvestasikan kembali, untuk membiayai proyek atau untuk memperkuat cadangan devisa.
15. Faktor Penyebab Besarnya Utang Luar Negeri
- Strategi defisit anggaran : strategi defisit anggaran tanpa diimbangi dengan kontrol akan sangat berbahaya. Selama ini Indonesia selalu menerapkan strategi ini, dengan harapan, jika utang kepada luar negeri, maka hasil dari utang tersebut digunakan untuk pembiayaan pembangunan, sehingga sektor riil berkembang dan harapannya pendapatan nasional dapat meningkat signifikan. Namun hasil dari pendapatan nasional ini tidak sepenuhnya digunakan untuk membayar utang luar negeri.
- Tidak menyadari secara penuh biaya yang harus ditanggung di masa depan Pemikiran irasional banyak mendominasi penentu kebijakan di negara sedang berkembang dalam melakukan utang (Alesina dan Tabellini).
- Adanya faktor sosial politik dari penentu kebijakan Faktor sosial dan politik lebih dominan dibanding faktor ekonomi dalam melakukan utang (Sebastian Edwards).
16. Dampak Utang Luar Negeri
Pada sisi
efektifitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya dipandang
menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara Dunia Ketiga.
Utang diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya
kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan.
Sedangkan
secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya
ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, modal asing,
dan pada pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan .
Pada sisi
kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti IMF, Bank Dunia,
dan Asian Development Bank (ADB). Keduanya diyakini telah bekerja sebagai
kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama pemegang saham utama mereka,
untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman.
Pada sisi
ideologinya, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-negara
pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk menyebarluaskan
kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. (Erler, 1989).
Sedangkan
pada sisi implikasi sosial dan politiknya, utang luar negeri tidak hanya
dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi
pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak
langsung negara-negara kreditur diyakini turut bertanggungjawab terhadap
munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatkan tekanan migrasi
dan perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan
peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992).
17. Utang Luar Negeri (Foreign Debt) dan Alasan Dilakukannya Utang Luar Negeri (Foreign Debt)
Dalam hubungannya dengan kebijaksanaan pembangunan di
negara-negara berkembang, bantuan luar negeri terutama dianalisa dan ditinjau
dari sudut manfaatnya
untuk membantu pertumbuhan ekonomi negara untuk
mencapai tujuannya. Ditinjau dari sudut ini, terdapat dua peranan utama dari
bantuan luar negeri, yaitu: 1. Mengatasi masalah kekurangan tabungan (saving
gap), dan 2. Mengatasi masalah kekurangan mata uang asing (foreign exchange
gap). Yang mana kedua masalah yang diharapkan dapat diatasi dengan melakukan
pengajuan utang luar negeri itu disebut dengan ‘masalah jurang ganda’ (The two
gaps problem). Kegiatan untuk memberikan bantuan luar negeri oleh negara-negara
maju kepada negara-negara yang sedang berkembang dilakukan dengan berbagai
alasan, antara lain yaitu: 1. Membantu negara-negara yang menerima bantuan
untuk mempercepat pembangunan ekonominya. 2. Membantu mengeratkan hubungan
ekonomi dan politik diantara negara yang menerima dan memberi bantuan. 3.
Membendung pengaruh ideologi yang bertentangan dengan yang dianut oleh negara
pemberi bantuan. Utang luar negeri bukan hanya dibutuhkan dalam proses
perdagangan, tetapi juga dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara untuk
menunjang proses produksi dalam negeri. Artinya, utang luar negeri merupakan
mata rantai yang menghubungkan kegiatan internal dan eksternal perekonomian
suatu negara. Dalam pemahaman ini sulit sekali menyatakan bahwa suatu negara
bisa saja tidak berutang sama sekali. Tetapi jelas sekali bahwa jumlah dan
pemanfaatan utang tersebut harus dikendalikan dan dikelola secara benar
sehingga justru tidak menjadi beban yang berkepanjangan. Sumber-sumber pinjaman
luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia dalam setiap tahun anggaran yang
berupa pinjaman bersumber dari:
1. Pinjaman Multilateral Pinjaman multilateral sebagian besar
diberikan dalam satu paket pinjaman yang telah ditentukan, artinya satu naskah
perjanjian luar negeri antara pemerintah dengan lembaga keuangan internasional
untuk membina beberapa pembangunan proyek pinjaman multilateral ini kebanyakan
diperoleh dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (BPD), Bank Pembangunan Islam
(IDB), dan beberapa lembaga keuangan regional dan internasional.
2. Pinjaman Bilateral
Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang berasal dari pemerintah negara
–negara yang tergabung dalam negara anggota Consultative Group On Indonesia
(CGI) sebagai lembaga yang menggantikan kedudukan IGGI. Pinjaman bilateral ini diberikan kepada pemerintah
Indonesia yang bersumber dari:
a) Pinjaman Lunak, yaitu suatu pinjaman yang diberikan
berdasarkan hasil sidang CGI.
b) Pinjaman dalam bentuk Kredit Ekspor (Eksport
Kredit) yaitu pinjaman yang diberikan oleh negara-negara pengekspor dengan
jaminan tertentu dari pemerintah negara-negara tersebut untuk meningkatkan
ekspornya.
c) Pinjaman dalam bentuk Kredit Komersial, yaitu
kredit yang diberikan oleh bank-bank luar negeri dengan persyaratan sesuaib
dengan perkembangan pasar internasional, misalnya LIBOR (London Interbank
Offered Rate) dan SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate) untuk masing-masing
jenis mata uang yang dipinjam. d)
Pinjaman dalam bentuk installment Sale Financing, yaitu pinjaman yang diberikan
oleh perusahaan-perusahaan leasing suatu negara tertentu untuk membiayai kontrak-kontrak
antara pemerintah dengan suplier luar negeri, karena kontrak-kontrak
pembangunan tersebut tidak dapat dibiayai dari fasilitas kredit ekspor.
e) Pinjaman obligasi, yaitu pinjaman yang dilakukan
pemerintah dengan mengeluarkan surat tanda berhutang dari peminjam (borrower)
dengan tingkat bunga tetap, yang pembayaran bunganya dilaksanakan secara
teratur dan pengembalian pinjaman (hutang pokok) pada jangka waktu yang telah
ditetapkan. Dalam melakukan pinjaman melalui obligasi dikenal 2 (dua) jenis
obligasi yang dapat diterbitkan/dikeluarkan dalam pasar modal, yaitu :
1. Public issues (Penerbitan Obligasi Umum) Penerbitan obligasi dilaksanakan melalui
sekelompok bank-bank yang menjamin (underwriter) dan menjual obligasi tersebut
kepada masyarakat di bursa (stock exchange).
2. Private Placement
Penerbitan obligasi secara private placement bersifat terbatas, tidak
diumumkan kepada masyarakat. Dalam hal ini suatu penjualan obligasi
dilaksanakan oleh emiten (issuer) kepada sejumlah bank dan investor
institusional (perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana pensiun) dengan
bantuan sejumlah bank dan investor institusional (perusahaan-perusahaan
asuransi dan dana-dana pensiun) dengan bantuan sejumlah penjamin emini
(underwriter) yang terbatas.
f) Pinjaman
dalam bentuk Stearling Acceptance Facility, yaitu suatu pinjaman yang
penarikannya dengan Bill of Exchange.Sistem pinjaman ini terdapat di Inggris
sejak abad ke-17. Pada tahap permulaan sistem ini digunakan ini digunakan untuk
memperoleh kredit jangka pendek berdasarkan transaksi perdagangan yang
dilakukan. Bill of Change ini dapat diperjualbelikan di pasar stearling
acceptance, dengan demikian dapat diperoleh dana sebelum Bill of Exchange jatuh
tempo.
18. Latar Belakang Timbulnya Utang Luar Negeri
klhhl Dari perspektif
negara donor setidaknya ada dua hal penting yang dianggap memotivasi dan
melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara debitor. Kedua hal tersebut
adalah motivasi politik (political motivation) dan motivasi ekonomi (economi
motivation), dimana keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang satu
dengan yang lainnya (Basri, 2003 : 101).
Motivasi pertama inilah yang kemudian menjadi acuan bagi AS untuk
menguncurkan dana bantuan dalam merekonstruksi kembali perekonomian Eropa Barat
setelah hancur saat PD II, dan program ini dikenal dengan nama Marshall Plan
(Todaro,dalam Muhammad Iqbal 1985 : 89).
Kesimpulan kita cukup sederhana, yaitu bahwa bantuan luar negeri
pertama-tama harus dilihat sebagai tanga panjang kepentingan negara-negara donor.
Motivasinya condong berbeda tergantung situasi nasional, dan bukan semata-mata
dikaitkan dengan kebutuhan negara penerima yang secara potesial berbeda-beda
antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Sedangkan motivasi ekonomi
sebagai landasan kedua yang digunakan dalam memberikan bantuan,
setidak-tidaknya tercermin dari 4 argumen penting :
a) Argumen pertama didasari oleh two gap model dimana negara-negara
penerima bantuan khususnya negara-negara berkembang mengalami kekurangan dalam
mengakumulasi tabungan domestik sehingga tabungan-tabungan yang ada tidak mampu
memenuhi kebutuhan akan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam proses memicu
pertumbuhan ekonomi. Dan pada sisi lain adalah kekurangan yang dialami oleh
negara-negara yang bersangkutan dalam memenuhi nilai tukar asing (foreign
exchange) untuk membiayai kebutuhan impor. Dengan demikian untuk menutupi kedua
kekurangan tersebut maka andalannya adalah bantuan luar negeri.
b) Kedua adalah memfasilitasi dan mempercepat proses pembangunan dengan
cara meningkatkan pertambahan tabungan domestik sebagai akibat dari pertumbuhan
yang lebih tinggi (growth and saving). Karena tinggunya pertumbuhan di
negara-negara berkembang akan turut meningkatlkan atau berkorelasi positif
terhadap kenaikan keuntungan yang bisa dinikmati di negara-negara maju.
c) Ketiga adalah technical assistance, yang merupakan pendamping dari
bantuan keuangan yang bentuknya adalah transfer sumber daya manusia tingkat
tinggi kepada negara-negara penerima bantuan. Hali ini harus dilakukan untuk
menjamin bajhwa aliran dana yang masuk dapat digunakan dengan sangat efisien
dalam proses memicu kenaikan pertum buhan ekonomi. d) Keempat adalah absorptive
capacity, yakni dalam bentuk apa dana tersebut akan digunakan. Terlepas dari
faktor-faktor yang dikemukakan di atas ada satu hal lagi yang perlu diingat
bahwa faktor pendorong da faktor penarik (push and pull factor) adala dua kata
yang menentukan terjadinya perpindahan modal ke negara-negara berkembang.
Faktor-faktor ini tentu saja perpaduan antar motif ekonomi dan politik yang
menjadi pertimbangan utama bagi investor yang rasional.
Sebagai negara berkembang yang tetap konsisten dalam mempergunakan utang
luar negeri dalam politik pembangunannya, Indonesia untuk masa mendatang masih tergantung
pada komponen ini. Seberapa besar ketergantungannya tentu banyak faktor yang
mempengaruhinya. Apapun argumennya, untuk saat ini mengalirnya dana dari luar
negeri merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indinesia untuk menginjeksi
dana pembangunannya. Di era globalisasi
dam dengan tingkat persaingan yang begitu besar, di samping pemerintah, pihak
swasta juga memerlukan dana, akan mengakibatkan perburuan pinjaman yang
bersyarat lunak akan meningkat dan tentunya akan semakin sulit diperoleh. Melihat
kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan dalam pinjaman komersial
seiring dengan meningkatnya peran pohak swasta dan langkahnya pinjaman resmi
yang bersyarat nlunak. Oleh karena itu, tidaklah heran untuk masa perspektif
utang luar negeri Indonesia dicirikan pada meningkatnya pinjaman yang bersifat
komersial. Banyak pihak yang
mengkhwatirkan kondisi pinjaman luar negeri pemerintah maupun pinjaman swata
cukup beralasan. Angka statistik pinjaman luar negeri Indonesia, baik
pemerintah maupun swasta memang masih menunjukkan tingginya kewajiban Indonesia
dalam membayar kembali pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Beberapa indikator
dalam mengukur beban utang, seperti :
a) Debt service Ratio (DSR) yang merupakan perbandingan antara kewajiban
membayar untang dan cicilan untang luar negeri dengan devisa hasil ekspor.
Ambang batas aman angka DSR lazimnya menurut para ahli ekonomi adalah 20%.
Lebih dari itu, utang sudah dianggap mengundang cukup banyak kerawanan.
b) Debt to Export Ratio yang merupakan rasio utang terhadap ekspor. Bank
dunia menetapkan bahwa suatu negara dikategorikan sebagai negara pengutang
berat, jika negara yang bersangkutan memiliki Debt to Export Ratio yang lebih
besar dari 220%
c) Debt to GDP Ratio yang merupakan rasio utang terhadap PDB. Rasio
utang terhadap PDB dapat dilihat sebagai kriteria mengecek kesehatan keuangan
suatu negara, dimana rasio di atas 50% menunjukka bahwa pinjaman luar negeri
Indonesia membenahi lebih dari 50% Pendapatan Nasional (Basri, 2003:201) Pinjaman
luar negeri tersebut tidak semua diberikan dalam bentuk rupiah atau tepatnya
mata uang asing tertentu tetapi dalam bentuk bantuan proyek dan bantuan
program. Bantuan proyek diberikan dalam bentuk pinjaman berupa
peralatan-peralatan, barang-barang ataupun jasa (konsultan asing), sedangkan
bantuan program diberikan dalam bentuk bantuan tunai.
19. Variabel Utang Luar Negeri
Nilai
t-statistik untuk variabel utang luar negeri yaitu sebesar 9,513016
Ho tidak
ditolak Ho ditolak
2.53948
9.513016
Apabila
dibandingkan dengan nilai t tabel, maka dapat dilihat bahwa nilai t-hitung
variabel ini lebih besar dari batas kanan t-tabelnya dengan ketentuan df(,
n-k) 0,01;19 = 2.53948, maka dapat disimpulkan bahwa variabel utang luar negeri
mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi indonesia secara signifikan pada
tingkat kepercayaan 99%. Jika utang luar negeri naik 1% akan menyebabkan
kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.535425. Sesuai dengan kerangka pemikiran
Keynesian yang menyatakan bahwa kebijakan defisit anggaran atau APBN yang
dibiayai oleh utang luar negeri akan berpengaruh positif terhadap perekonomian
melalui mekanisme multiplier process. Sebagaimana penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Arif Lukman Rachmad (2013) yang menunjukkan bahwa utang luar
negeri memiliki penaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang
diwakili oleh PDB.
20. Solusi Utang Luar Negeri
- Pertama, Debt swap. Solusi yang paling sederhana mengatasi utang luar negeri adalah dengan mengoptimalkan restrukturisasi utang, khususnya melalui skema debt swap, di mana sebagian utang luar negeri tersebut dikonversi dalam bentuk progran yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan lingkungan,dan sebagainya. Program debt swap seperti ini sudah dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50 juta (Rp250 miliar) dari total utang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam bentuk proyek pendidikan.
- Kedua. Diplomasi
ekonomi. Menurut Rachbini. 1994, masalah utang LN tidak bisa
lagi diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis ekonomi belaka.
Potensi internal ekonomi kita tidak cukup kuat untuk melayani utang luar
negeri yang salah dalam pengelolaannya. Kita tidak bisa secara
terus-menerus menjadi "good boy" dengan melayani seluruh cicilan
tersebut karena sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan
mengganggu kestabilan ekonomi serta politik.
Suatu pendekatan diplomasi ekonomi politik harus terus menerus dijadikan program aksi (action program) untuk menghadapi lembaga dan negara donor. Diplomasi ekonomi juga penting dilembagakan dengan sasaran untuk memperoleh keringanan dan penghapusan sebagian hutang sehingga proses pengurasan sumberdaya dapat dihambat. - Ketiga. Adalah cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh mantan kepala BAPPENAS Kwik Kian Gie, dalam hal utang luar negeri, harus ada keberanian untuk menggugat dan tidak membayar sesuai jadwal karena pada kenyataanya Indonesia tidak dapat membayar kembali utang dan bunga yang jatuh tempo. Hutang tersebut hanya bisa dibayar dengan cara melikuidasi kekayaan negara. Dalam hal utang dalam negeri, supaya menarik kembali OR yang masih dalam penguasaan pemerintah melalui bank-bank yang masih milik pemerintah.
- Keempat. Adalah cara yang datang dari potensi internal pemerintah sendiri yaitu dengan menjaga kinerja makro-ekonomi dalam posisi yang stabil dan menstop hutang baru. Untuk tawaran terakhir ini, paling tidak terdapat tiga asumsi dasar yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap. Asumsi dasar pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga pada level antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun. Angka terakhir pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh penjagaan keamanan yang keras dan otoriter dan arus modal masuk yang puluhan milyar setahun. Asumsi dasar kedua adalah menjaga tingkat inflasi tetap rendah-rendah (di bawah 10% setahun, idealnya 6%), medium (sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun)- Semakin rendah inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar bunga utang rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi rendah akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dari luar.Asumsi ketiga adalah dalam beberapa tahun kedepan diharapkan tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan utang luar negeri. Maka, kalau laju pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini bisa mencapai 7% setahun dan inflasi hanya 6% setahun, dan pemerintah tidak perlu menambah stock utang lagi, maka (pasti) beban angsuran utang turun dan sebagai akibatnya kita tidak perlu lagi membebani generasi mendatang dengan cicilan hutang.Kedepan, untuk mengantisipasi jeratan utang yang sangat membebani bangsa dan negara ini, maka pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik untuk mengakhiri semua hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas pengaruh dan tekanan dari pihak negara mana pun yang berkepentingan menjerat negara ini dengan utang yang sebesar mungkin.
BAB III
INTERNATIONAL
JOURNAL
A. Description of Government Foreign Debt
The trend of government foreign debt in the period of 1994-2015 are tend
to be sharply increased. Government foreign debt has increased sharply since
the economic crisis on 1998 from Rp 127,32 trillion on 1996 to Rp 679,12
trillion on 1998. Even on 2012 the government foreign debt reached Rp 948,30
trillion, not including the debt stock of the government. The Increasing stock
of government foreign debt from year to year is clearly very worrying because
it has impact on the performance of the state budget (APBN). In the short term,
foreign debt really helps the Indonesian government in an effort to close the
deficit of state budget, due to the financing of routine expenditure and
development expenditure which is large enough. Thus, the economic growth rate
can be propelled in accordance with the targets that have been established
previously. However, in the long term, foreign debt gives a serious problem
toward fiscal sustainability of Indonesia. Government foreign debt must be paid
back along with the interest to the state or lending institutions.
Thus,government foreign debt becomes a burden on government expenditure post
and gives negative impact on fiscal sustainability of Indonesia.
Diagnostic Test Result Multicollinearity test in this research uses
correlation matrix (matrikskorelasi). The test result about whether there
ismulticollinearity problem or not can be observed in Table 1as the following.
The lag regression coefficient of government foreign debt (GFD(-1)) is
marked positive in the amount of 0,123692 with probability in the amount of
0,0264. The lag probability of foreign debts is in the amount of 0,0264 smaller
than the significance level =5% (0,05) and the coefficient correlaton is positive,
so it can be concluded that the lag foreign debt have positive and significant
impact on Indonesia’seconomic growth at the significancelevel =5%. Correlation
coefficient foreign debt lag in the amount of 0,123692 means that when the lag
of foreign debt increased by 1 unit, the economic growth in Indonesia rise in
the amount of 0,123692 unit. The lag regression coefficient of Private Sector
Foreign Debt (PSFL(-1)) is marked positive in the amount of 0,031787 with
probability in the amount of 0,2867. Probability investment in the amount of
0,2867 is bigger than the significance level =5% (0.05), so it it can be
concluded that the lag of Private Sector Foreign Debt does not affect
significan toward theIndonesia’seconomic growth at the significance level =5%.
Regression coefficient of Foreign Direct Investment (FDI) is marked positive in
the amount of 0,304600 with probability in the amount of 0,0197. Probability of
Foreign Direct Investment (FDI) in the amount of 0,0197 is smaller than the
significance level =5% (0.05) and the coefficient regression is positive, so it
can be concluded that Foreign Investment have positive and significant impact
on Indonesia’seconomic growth at the significance level =5%. Regression
coefficient of foreign capital investment in the amount of 0,304600 means that
when Foreign Capital Investment increased by 1 unit, Indonesia’s economic
growth rise in the amount of 0,304600 unit. Regression coefficient of Domestic
Capital Investment (DCI) is marked positive in the amount of 0,392395 with
probability in the amount of of 0,0000. Probability of domestic capital
investment in the amount of 0,0000 is bigger than the significance level =5%
(0,05), so that it can be concluded that domestic capital investment have
positive and significant impact toward Indonesia’s economic growth. Lag
Government Foreign Debt (GFD(-1)) has a positive and significant effect towards
the economical development with regression coeficients as 0,123692 and
probability as 0,0264. It is because of later of intent (LoI) between Indonesia
and other countries and loan institutions which mantain the utilization of
Indonesian foreign debt. Government foreign debt requests are espoused with the
utilization of foreign debt policy package guidelines from the country or loan
instutions. The policy package consists of the utilization of government
foreign debt to develop the infrastucture and public facility such as impress
schools, Puskesmas/clinics, hospitals, streets and bridges.Besides, loan
institutions or countries also maintain the utilization of government foreign
debt in order to be used for alleviation poverty programs such as BLT, raskin,
and JPS, and also to develop countries’ company. All the policy package has
resulted in positive effects when it was implemented in developing countries
whose condition is similar and relevant to Indonesia.The utilization of
government foreign debt is also supervised by the country of loan institution
so that the utilization should appropriate to the policy package which has been
agreed in LoI, and it is not allowed to be used by the government, for example
is to employers expenses. The government foreign debt utilization to develop
infrastucture, facilitation for education and health, and also for alleviation
poverty programs gives positive effect towards Indonesia’s economic growth. The
condition is linear to the results of a research by Quazi (2005) which is
showed that foreign debt significantly increasing the GDP development in
Bangladesh in 1973-1999. The cross country research which was done by Moreira
(2003) in 1970-1998 showed that foreign debt gives positive impacts toward the
development of economy.The foreign debt can be an intial stimulus in order to
improve a better prosperity in developing country which is left behind in
education field, healthy cultivation, good nutrition and residence. The results
of a research by Svensson (2000) showed that foreign debt give positive impacts
towards economics matters, the development of society proverty, if only the
foreign debt is being used to the development and there is no moral hazard
problem which is related to the use of the debt. Bulow dan Rogof (1990) dan
Chowdurry dan Levy (1997) dalam Antoni (2007) conclude that the foreign debt
has become one of the significant factors in improving the economical
development in developing countries. A diferent result of research is stated by
Syaparuddin and Hermawan (2005) which is showed that the requests of foreign
debt give positive impact but it is not significant to the improvement of GDP
Indonesia in 1980-2002. Lag Private Sector Foreign debt doesn’t have
significant effect towards the development of economy with regression
coeficient as 0,031787 and probability as 0,2867. The private sectorforeign
debt mostly be used to pay the operational activity of private company, so that
it does not give significant effects towards the development of economy in
Indonesia. Private sectorforeign debt is not used to public sector business,
but it is used to increase the supply of its company. The consequences are lag
private sector foreign debt does not give significant impact towards the
development of economy in Indonesia. However, a different result is stated by
Adwin (2001), private sector foreign debt gives positive impact and it is
significant towards Indonesia’s economic growth.
Foreign Asset Investment (FAI) gives positive and significant impacts
toward the development of economy in Indonesia with regression coeficient as
0,304600, and the probability as 0,0197. The increasing of Foreign Asset
Investment (FAI) affects the production activity in real sector so that the
development of economy is also increased. It is linear to Solow who states that
the more asset supply, the more output. If a country set aside a part of the
emolument to investation, the country will have a high asset condition and high
emolument (Mankiw, 2000). Foreign Asset Investment (FAI) gives positive impact
toward the development of GDP because FAI is allocated to real sector,
especially industri sector. FAI industri from America mostly invest in
petroleum sector. Jpan, Germany, England and Netherlands FAI mostly invest in
manufactur sector, not in petroleum sector. In two last decades, the industrial
countries such as Hongkong, Taiwan, Singapore and South Korea have embellished
FAI in Indonesia in electronic field (Saad, 2001). It is linear to a research
by Rilam (1997) which concludes that a directly foreign investation development
GDP Indonesia in 1969-1993 at alpha 0,10 . Foreign Asset Investment (FAI) gives
positive and significant impacts toward the development of economy in Indonesia
with regression coeficient as 0,392395, and the probability as 0,0000. Domestic
Capital Investment (DCI)mostly directed in industrial sector such as banking
industry, manufactur industry, estate industry, fishery industry, agriculture
industry, mining industry, and petroleum industry. Domestic Capital Investment
(DCI) which is directed in real sector causes an increasing of money supply.
The increasing of money supply can trigger inflation. The goods inflation can
stimulate the development of real sector. It is linear to a research by Belinda
(2007) about Domestic Capital Investment (DCI). Belinda (2007) states that DCI
gives positive and significant impact to Indonesia’s economic growth during the
monetary crisis in 1999-2004.
The explanation of Indonesia Foreign Debt before and after leaving IMF
In 2003, Indonesia decided to drop out from IMF. The following explanation is
the condition of Indonesia foreign debt ratio towards realGDP before Indonesia
left IMP (1994-2002) and after Indonesia left IMF (2004-2015). The comparation
is not only in the amount of the debt, but also the government debt ratio
toward realGDP. The consideration is that the ratio mostly describe the
variation of the huge changes in government foreign debt towards real GDP in
certain years. The result is presented as Table 5. From the paired sample test
above, it can be shown that there is a significant ratio difference of
Gofernment Foreign Debt toward real GDP before and after Indonesia left IMF
with probability as 0,005 < alpha 5% . Based on the differential test which
is attached in appendix, it can be said that the mean of GFD towards real GDP
before Indonesia left IMF as 45,55 while after leaving IMF is 19,33. Therefore,
it shows that mean GFD towards real GDP after Indonesia left IMF is lower than
before leaving IMF. It can be analyzed that the decisions of leaving IMF caused
ratio decline in GFD towards real GDP. However, it should be known that the
amount of GFD ratio towards real GDP each year. The data analysis results
showed that there is a significant difference in ratio GFD towards GDPreal
before and after Indonesia went out from IMF. GFD ratio towards GDPreal
experiencing significant derivation from 45,55 to 19,33. One of the reasons is
the fact that repayment of Indonesian Foreign Debt from the International
Monetary Fund (IMF) is as much as 3.2 billion US dollars in 2007. The Governor
of Bank Indonesia at the time, Burhanuddin Abdullah, announced that the country
is free from the trap of foreign debt that could haunt after the 1997 economic
crisis. However, apparently Indonesia’s debt repayment for the IMF in 2007 is
not the end of the special relationship between Indonesia and the international
financial institutions. In 2008, the Ministry of Finance included funds as much
as Rp 1,02 trillion to increase the capital of five international financial
institutions, including the International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) as much as Rp 172 billion and the Asian Development Bank
(ADB) as much as Rp 337 billion. The entire membership deposit funds used the
state budget funds. Other than the payment for the IMF as of December 31, 2012,
Indonesia deposited funds as much as Rp 30 trillion to the IMF. The cause that
Indonesia has never been disconnected from the financial institutions is the
existence of the binding membership. Until now, the government has never tried
to renegotiate the portions of the membership in the IMF or the World Bank.
Even the central government assessed that the IMF and The World Bank has been
proven to participate in maintaining the global economic stability. Therefore,
Indonesia still maintains its relation with the IMF and the World Bank.
Consequently, although Indonesia has repaid its debt in the IMF, Indonesia
foreign debt ratio to GDP is still quite large.
After
paying off the debt at the IMF, Indonesia still applies for loans to various
countries and institutions abroad. Data from the Directorate General of Debt
Management at the Finance Ministry in early January 2014 showed that there were
three agencies and three States as the largest source of Indonesian government
debt. The first is the Islamic Development Bank (IDB). Indonesian government
had in IDB as much as Rp 6,64 billion at the end of 2013. The amount of this
debt had increased compared to the end of 2012 which as much as Rp 5,09
trillion. The second is Germany. The number of Indonesian government debt to Germany
had reached Rp 23,68 trillion by the end of 2013. This number had decreased
from the end of November 2013 amounted to Rp 24,19 trillion. However, when
compared to the end of 2012 amounted to Rp 20 trillion, the amount of foreign
debt of the Indonesian government Germany had increased. The third is France.
The Indonesian government had a debt as much as Rp 25,83 trillion in the French
State until the end of 2013. When compared to November 2013 amounted to Rp
26,04 trillion, Indonesia’s government debt to France had decreased, however,
this debt had increased compared to the end of 2012 which amounted to Rp 21,3
trillion. The fourth is Asian Development Bank (ADB). The number of Indonesian
government debt to ADB until the end of 2013 was Rp 114,42 trillion. This
number had increased from November 2013 which was Rp 108,26 trillion. The value
of the debt had also increased compared to the end of 2012 which was worth Rp
100,34 trillion. The fifth is The World Bank. The value of Indonesian
government debt to The World Bank until the end of 2013 was Rp 163,74 trillion.
This number had increased from November 2013 which reached Rp 152,33 trillion.
Then, compared to late 2012 which reached Rp 122,14 trillion, the number of
Indonesian government debt to The World Bank had also increased. The sixth is
Japan. Indonesian government debt to Japan until the end of November 2013 was
the largest, it reached Rp 257,89 trillion. This number was increased compared
to October 2013 which was Rp 251,73 trillion. However, the amount of debt was
increased from the end of 2012 which was worth Rp 254,64 trillion.
Foreign Direct Investment in Tanzania Foreign Direct Investment (FDI)
has been subject to debates in the past two decades in both developing and
developed countries. FDI has been considered as an important source of
financing investments especially in emerging and developing economies. As
global economies are growing and becoming more and more open due to relaxation
of regulations on international trade; integration among countries has also
increased resulting to global capital movement flows which are normally
facilitated by the operations of Multinational enterprises (MNEs). The world
investment report (WIR) published in 2012 indicate that there has been an
increase in foreign investment flow in Tanzania. The report shows that during
the past one year, Tanzania became the top in attracting FDI in the East
African region by attracting 1.1 billion USD equivalents to (TZS 1.76
trillion). However, the report also highlighted that between June, 2012
Tanzania overtook Kenya the region’s biggest economy; indicating the high
confidence among foreigner investors to Tanzania as a result of favourable
environment in the country due to peace as well as many investment
opportunities available. The same report pointed out that for the past three
years, Tanzania has attracted about 47 percent of all FDI flows in the five
East African countries. In addition, the report issued by UNCTAD in 2014,
indicate that Tanzania recorded the highest FDI in 2013 within East African
Community. This increase in FDI can be attributable to the Government efforts
to improve the existing investment climate by reviewing the existing policies
and instituting new ones geared to provide incentives to both foreign and
domestic investors and make easy for investors to conduct business in the
country. It is argued that FDI inflows contribute towards increased employment,
increase revenue in terms of taxes collected, technology spillover and
innovation to the host country.
The
investment potentials available in Tanzania including agriculture and
agribusiness, infrastructure development, manufacturing, tourism, financial
services, mining, water resource development a few to mention. These areas have
attracted many investments in the country. Again, following recently discovery
of large deposits of gas in the country, the Government expects to attract more
FDI in gas sector. The Tanzania parliament has recently passed gas laws to
provide legal framework to be used in gas industry in order to protect and
control this important resource for development. Despite the increase in
foreign direct investment in Tanzania as evidenced by UNCTAD reports; there are
still questions to be asked on whether the increase in FDI has a significant
impact on economic growth. This is why there is a need to investigate the
impact of FDI on economic growth in Tanzania. Tanzania External Debt overview
Many countries in the world do borrow in order to finance various sectors of
their economies especially industry, energy, transport and communication,
education and agriculture among others which results in external debts.
Tanzania in this regard is not on exception; for some good reasons the
Government has borrowed and has been borrowing funds to finance some projects
due to budget deficit or having low investment in the country on condition to
repay the loan within a specific period of time. The Bank of Tanzania (BOT)
recently revealed that the national debt stock hit 40 trillion TZS in July 2015
which is about four times what it was 10 years ago. The new indebtedness was an
increase of 29.4 trillion of what the public debt was in July 2005. The debt
increased by 24.2 trillion between December 2010 and July 2015. This is
economically detrimental and puts Tanzania in awkward fiscal posture and the
country’s creditworthiness locally and internationally becomes doubtful
creating fear of debt crisis especially if the money borrowed were not well
invested in projects that generate returns for loan repayment. According to
Ndullu, (1994) a significant proportion of development investments (including
textile and other factories, transport and power infrastructure) were financed
through external debt, and its low productivity greatly resulted in debt
servicing problems. Debt servicing is identified as a serious threat to
economic growth of any country especially for low income countries like
Tanzania. Perkins D. H. et al (2001) argued that foreign borrowing for a
country is necessary especially if the borrowed funds are used to finance
economic development. However, too much foreign borrowing and borrowing to
finance consumption or poor investment can lead to big trouble. A country’s
debt portfolio has to be prudently managed to ensure that they reap the gain
while avoiding the possibility of crisis. The magnitude of the external debt of
developing countries has caused their policy- makers to feel that this poses
severe financial obstacles to national development. Debt – service payments
have to be made at the expense of foregoing a number of projects and efforts to
meet human needs. Although many
empirical studies confirm that FDI have positive impact on economic growth, yet
the size of such impact may vary across countries depending on the level of
institutional framework necessary to foster investment as well as specific
policies to enable the host economy reap the benefit from FDI. This ambiguity
inhibits our understanding required to promote economic growth and set clear
investment policies particularly for the case of Tanzania. In addition, the
question arises whether external debt has an impact on economic growth in
Tanzania. The objective of this study is to investigate the impact of external
debt and FDI on economic growth of Tanzania. The results from this paper are
expected to contribute to knowledge on existing literature about the impact of
external debt and FDI on economic growth. In addition, the study is of
significance to investors and policy makers in realizing policy issues on
external debt and FDI. The paper is organized in five sections, next to this
section is, section two which provides a brief summary of empirical literature,
section three provides methodology and model specification, while section four
shows empirical results and analysis and finally section five provides summary
and conclusion of the study. 2. Literature Review 2.1 Empirical Review on FDI
and Economic Growth Many studies have been conducted to investigate FDI and its
impact on economic growth in both developed and developing countries. Most of
studies find a positive contribution of FDI to the host country’s economic
growth. However, some previous studies undertaken on the impact of FDI on
economic growth indicate a negative impact on economic growth. Additionally,
some of empirical studies have mixed conclusions as regards to the impact of
FDI and economic growth. The main reason for the different findings may be due
to different methods used and specific macroeconomic variables considered for a
particular country. In order to shed some light on the understanding of this
area, below are the previous studies conducted in different countries.
Islam (2014) examined the impact of FDI on Bangladesh economy using
secondary data for the years from 1996 – 2010. He argues that FDI in Bangladesh
plays an important role in achieving expected economic growth. The results show
that FDI has a positive correlation with GDP, export and private investment.
Similarly, SidratulMuntah et al (2015) investigated the impact of Foreign
Direct Investment on economic growth of Pakistan. Their findings indicate that
FDI is positively related with GDP. Their conclusion is that Pakistan should
adopt the FDI projects to promote economic growth. Again, Ayanwale (2007)
examined FDI and economic growth in Nigeria. The findings for the study show
that FDI induces nation’s economic growth. Although the overall effect of FDI
on the whole economy may not be significant. Additionally, Melnyk et. al (2014)
investigated the impact of forign investment on the growth of 26 post communism
transition economies from 1998 to 2010 and suggested that FDI has influence on
growth of these economies. Al Khathlan, (2014) used co- integration technique
to investigate the long-term relationship between FDI inflows and economic
growth from 1980 to 2010 in Saudi Arabia. He found a positive significant
relationship with economic growth. On the contrary, a study on the impact of
foreign direct investment on economic growth of Pakistan by Saqib et. al (2013)
reveal that Pakistan’s economic performance is negatively affected by foreign
investment while its domestic investment has benefited its economy. It can
therefore be argued that domestic investment would benefit the country’s
economy, and the dependency on foreign investment should remain limited. In
this regard, it seems that most of the benefits of foreign investment get
diluted at the hands of the repatriation of profits back to the investor
nation. This can also be explained by the limited capacity of the host country
to diffuse the transfer of knowledge and technology for further development. In
a different perspective, Alfayo (2003), using cross –country data suggest that
total FDI exerts an ambiguous effect on growth. He further argued that foreign
direct investment in the primary sector tends to have a negative effect on
growth, while investment in manufacturing a positive effect. Evidence from the
service sector is ambiguous. 2.2
Empirical Reviewon External Debt and Growth Wamboye (2012) evaluated the impact
of public external debt on long term economic growth of fourty least developed
countries (LDC’s) using unbalanced panel data from 1975 – 2010. The findings on
this study suggest that high external debt depresses economic growth,
regardless of the nature of the debt. In addition, debt relief initiatives are
crucial as evidenced in the lower negative debt effects on growth in HIPCs sub
- sample relative to non - HIPCs. Michael and Sulaiman (2012) examined the
impact of external debt on the level of economic growth and the volume of investment
in Nigeria for the period 1980 – 2008. The results of their analysis indicate
that there exists a positive relationship between external debt, economic
growth and investment. Their findings indicate that external debt ratio of GDP
stimulates growth in the short - term; the private investment which is a
measure of real and tangible development shows a decline. According to Benedict
et.al, (2003) a large external debt can also affect growth through the crowding
out effect or by affecting the composition of private investment. An increasing
debt service may increase the government’s interest bill and the budget deficit
and consequently, cause the long-term interest to rise or simply crowd out
credit available for private investment (Gale and Orzag, 2003; Baldacci and
Kumar, 2010). Similarly, heavy debt burdens acts to reduce investment through
both debt overhang and the crowding out effect (Iyoha, 1997). Chauvin and Kraay
(2005) show that debt relief in 62 developing countries between the years (1989
– 2003) did not improve the institutional quality nor lead to rising FDI or
higher rates of economic growth. In summary the previous literature on the
impact of FDI on economic growth are inconclusive. While some studies show a
positive relationship other studies indicate a negative influence on economic
growth. However, the overall effect of FDI on the whole economy provides
ambiguous results. This ambiguity necessitates a further investigation
particularly for Tanzania where the trend of FDI flows is on increase. On the
other hand, external debt as another source of finance has been increasing on
yearly basis due to deficit budget especially for development projects. The
burden to the nation is extremely high as the external debt tends to attract
interest. Our study therefore investigates the impact of FDI and external debt
on economic growth. 3. Methodology and Model Specification 3.1 Data and
Methodology The data were collected from the INDEX MUNDI which provides data
from IMF and World Development Indicators (WDI) websites. The data are fully
secondary and covers the period of years 1971-2011. However, we apply
econometrics methods to assess the impact of FDI and external debt on economic
growth.
The model is developed based on six (6) variables, RGDP, PD, FDI INFL,
EXRATE, PRED and NODA. It is assumed that RGDP (Real Gross Domestic product )
is a function of PD (external Debt), FDI_ INFL (FDI Inflow), EXRATE (Exchange
Rate), PRED (Principal repayments on external debt) and NODA (Net official
development assistance). In other words these RGDP is a dependent variable and
the remaining five variables are explanatory variables.
B. The Financial Market
The international financial market over the world has grown very fast in
the recent years. The private capital market is consistently improving since
1997. The buoyant capital flows among the nation boundaries have raised the
existing strength of the financial market domestically as well as
internationally. The markets over the world, particularly the financial markets
are largely affected by the hedge funds. The use of hedge funds has allowed the
trading activities with large number of dealers. Traditionally the banks were
involved in the activities of lending and receiving deposits. In essentially a
market for long term securities that is stock, debenture and bonds lasting for
usually longer than three years. The proper functioning of the capital market
was not set up until the establishment of the Central Bank in 1959 and
launching of the Lagos stock exchange in 1961even though securities were
floated as far back as 1946. The needs to have an organized stock exchange came
up and committee was set up by the government under the chairmanship of Prof.
R.W.Barbock to consider the feasibility of having indigenous forum for the
purchase and sales of shares and stocks.
The Nigerian security and exchange commission (NSEC) is the apex
institution for the regulation and monitoring of the Nigeria capital market.
The commission was established under the security and exchange commission
decree 1979, operating retrospectively from 1st April 1978. Prior to the SEC,
two bodies had in succession been responsible for the monitoring of capital
market activities in Nigeria. The first was capital issues committee, which
operated between 1962 and 1972. It could not be seen as the superintendent of
the capital market because its functions were more or less advisory without the
force of instruction even through its functions included the coordination of
capital market activities. The next body was the capital market issues
commission (CIC) which came into being in March 1973. The C.I.C, unlike its
predecessor, had full powers to determine the price, timing and volume of
security to be issued. Despite this wider power, the CIC could not be seen as
the apex of capital market because it concerned itself with public companies
alone and its activities did not cover the stock exchange and government
securities. The enabling Act of the Securities and Exchange Commission specifies
its overriding objectives as investors’ protection and development while its
functions were divided into two regulatory and development. The functions of
the commission are extensively spelt out in Nigeria Securities and Exchange
Commission Decree (Decree No 29) of 1983 and the Nigerian Enterprises Promotion
Decree 1990. According to section (6) subsection (9) to (10) the commission is
charged with the following duties and functions among others. Determining the amount of price and time
when securities of companies are to be sold to the public whether through offer
for sale or subscription. Registering
all securities proposed to be offered for sale to or for subscription by the
public. The Nigerian Stock Exchange As one of the constituencies of the capital
market, the exchange is a private, non-profit making organization, limited by
guarantee. It was incorporated via the
inspiration and support of businessmen and the federal government. Own by about
300 members. The membership includes financial institution, stockbrokers and
individual Nigerians of high integrity, who have contributed to the development
of the stock market and Nigerian economy. The Nigerian stock exchange started
with the incorporation of the then Lagos stock exchange in 1960. Trading broadening
the ownership base of family-owned and dominated firms.
Developing Nations Many nations
of the world are being rated in different ways based on certain criteria in
which the United Nations outlined. This criterion helps the world body to know
which areas need more assistance in terms of development and at which level the
body could help in directing its development strategies. According to the World
Trade Organisation, they don’t have any definition for developed or developing
nations. Member nations willingly announce for themselves whether they are
“developed” or “developing” countries. This decision could be challenged by
other member nations, because certain provisions are being outlined for
developing nations. The classifications of developing and developed nations are
based on several variables which are social, technological, economical and
political factors. According to oxford dictionary of economics, countries with
less advanced technology and or lower income levels than the advanced
industrial countries are less developed nations. Majority of the countries in
Africa fall under this category, because they are less technologically advanced
and low income, so also those in Asia and some parts of South America. From the
International Statistics Institute website, developing nations are defined
according to their Gross National Income (GNI) per capita per year. Countries
with a GNI of US$11,905 and less are defined as developing. Based on the list
of developing countries outlined by the institute which represented the less
developed countries for the year ended 30th December 2014, countries that are
slightly over the amount of US$11,905 will be considered a developing country
for the year 2014 and their situation will be reviewed for 2015. In a further
classification of developing countries, some analysts using the UN
classification system, prefer to distinguish among the three major groups
within the third world, the 44 poorest countries designated by the United
Nations as "least developed, the 88 nonoil-exporting "developing
nations," and the 13 petroleum-rich members of the Organization of
Petroleum Exporting Countries (OPEC), whose national incomes increased
dramatically during the 1970s. Others follow the classification system established
by the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) in Paris,
which divides the Third World (including countries and territories not in the
U.N. system) into 61 low-income countries (LICs) (those with a 1990 per capita
income of less than $600, including 29 least developed countries, or LDCs), 73
middle-income countries (MICs), 11 newly industrializing countries (NICs), and
the 13 members of OPEC (Todaro & Smith 2011, p.28). Owing to the analysis
carried out by the economist using the UN information, the third world
countries which is usually referred to as developing nations are being
differentiated, because within the third world countries there are still
countries which meet with the over US$11,905 benchmark placed by the UN statistics.
The UN data states clearly that 88nations fall within the developing nations of
the world. In the World Bank’s classification system, 210 economies with a
population of at least 30,000 are ranked by their levels of gross national
income (GNI) per capita. These economies are then classified as lowincome
countries (LICs), lower-middle- income countries (LMCs), upper-middle-income
countries (UMCs), high-income OECD countries, and other high-income countries.
(Often, LMCs and UMCs are informally grouped as the middle-income
countries.)(Todaro &Smith,2012, p.39). Based on quite a number of
exceptions developing countries are those with low, low middle and upper middle
incomes. The World Bank which is also referred to as International Bank for
Reconstruction and Development works in collaboration with the United Nations
in setting characteristics for the classification of the categories of
developing nations. A situation where 210 economies are classified as
developing nations is enough clientele for loan disbursement by the world body,
showcasing a great business opportunity for the World financial body.
Debt and Development Before going into detail, it should be recalled
that the reasons for countries accruing of debts are for the development and
poverty alleviation of their respective economies and nations. The two words
work closely related in terms of nation building, economic growth and
development, the methods of implementation of policies which are outlined by
the donor agencies are some of the greatest problems of the receiving nations.
There are several ways in which debt can affect a countries development. First,
it is important to understand that government debt is a way of raising funds,
keep the balance between revenues and expenditures while at the same time
evenly offsetting the construction funds. Second, adjusting a country’s
industrial structure, regional structure as well as promote a stable
development of the national economy. Finally, debts will help improve the
liquidity when it comes to international payments (Qui 2010, p.5). In business, funds are being raised to
finance several projects which a company deems vital for profit generation for
the company. It is not out of place for nations to canvass for loans to
increase the size of its financial functions to fill the gap of economic
situations, to compensate budget deficit and overdraft for banks so as to avoid
inflation. As the budget deficit could arise from government need to finance
mega projects that will boast the nation’s development and growth. In order to
adjust a countries industrial structure, nations seek for technical assistance
and policy advice from international agencies like the IMF on better ways to
upgrade its industrial base. External financial supports, when used productively
accelerate the pace of economic development. It will not only provide foreign
capital but will also give managerial know-how, technology, technical expertise
as well as access to foreign markets for the mobilization of a nation’s human
and material resources for development purposes. Specifically, loans can be
used in areas such as increasing agricultural production of goods for export,
mineral exploration, industrialization, transport and communication, rural and
urban development, heath care services, balance of payments, tourism,
infrastructural development etc (Anyanwu, 1997 p.631). This is one key
motivator for the growth and development of a nation. Many nations cannot
finance the improvement of its nation’s industrial base as advised by the agencies;
the result of this is consulting debt agencies for funds on this catalyst for
development. These measures would help the entire country to benefit from the
economic development and thus prevent a big financial and social gap between
different regions or social classes. With the development of International
relations, all nations have various dealings with other nations, be it
economical or socially and payments are being effected on the international
scene to offset certain transactions with foreign bodies and foreign nations.
This foreign debt helps to boast a nation’s foreign liquidity and assist in
clearing of nation to nation bottlenecks which gives the opportunity for
productivity. External debt is
the total private and public debt owed by a country (Todaro & Smith 2012,
p.650). In this era of economic development where the supply of domestic
savings is low, the common phenomenon for developing countries has become the
accumulation of external debt. Before the 70’s external debts of nations are
literally low and loans are being disbursed to developing nations by specified
United Nations agencies like IMF, World Bank (International Bank for
Reconstruction and Development) and regional development banks with low
interests to enhance countries development projects and importation of capital
goods. Subsequently in the late 70’s and 80’s other financial institutions
embarked on same duty of these specialised UN agencies recycling OPEC
“petrodollars” (Todaro & Smith 2012) and issuing all purpose loans to
developing countries to provide balance of payments support and expansion of
export sectors. Due to the low interest rates of foreign borrowing, nations
benefit should be countless on the loans, but owing to the mismanagement and
wrongly designed and implementation of economic policies, these benefits have
turned into problems for most developing nations. The cost of these loans has
outweighed the benefits at which the loans are meant to proffer to the economy,
hence debt service. Debt service
is the payment of amortization (liquidation of the principal) and accumulated
interest; it is a contractually fixed charge on domestic real income and
savings (ibid). Various analyses made on several developing countries who
ventured in loans and foreign debt revealed that it hampered the growth and
development of most of these countries, while it was a measure to rather boast
these economies. Adepoju, Salau&Obayelu (2007) analyzed the time series
data for Nigeria over a period from 1962 to 2006. Exploring time to time
behaviour of donor agencies as an outcome of various bilateral and multilateral
arrangements, they concluded that accumulation of external debt hampered
economic growth in Nigeria. African nations who form the bulk of the developing
countries are not the only affected nations in the foreign debt saga, most of
the pacific nations who were also involved in foreign debt are not better
placed after the involvement in the foreign debt. Focusing on the flow of
foreign aid in 6 Pacific Island countries over the period of 1988-2004 shows
that these countries had been among the top recipients of foreign aid till
early 80s, but later on could not maintain the level of higher aid inflows due
to change in political situation thereby subsequently fell into the trap of
twin deficits (Jayaraman &Evan 2008).
C. The Importance of Domestic Financial Development
It may well be that we do not have a complete specification. Countries
that are more open also have better developed financial markets (see Kose et al.,
2006). Financial integration may proxy for financial development. We should
therefore include an interaction between our proxies for the country’s domestic
financial development and an industry’s dependence on finance to check if the
effects of foreign capital persist even after we control for domestic financial
development. Our primary proxy for financial development is the ratio of
domestic credit to GDP. A second proxy is the country index of the quality of
corporate governance constructed by De Nicolo, Laeven and Ueda (2006) (which is
available for fewer countries and also does not vary across time).
Also, we should check for threshold effects – the benefits of foreign
capital may kick in only once a country’s domestic financial development is
above a certain level (see Chinn and Ito, 2005, and Hammel, 2006). So we
include a separate interaction between our measure of foreign capital
penetration and an industry’s dependence of finance if the country is below the
median level of financial development (as measured by domestic credit to GDP).
Since this is a triple interaction, we also have to include all the relevant
double interactions. So the final specification is Growth.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Laporan keuangan adalah
hasil dari proses akuntansi pada
suatu periode waktu tertentu yang merupakan hasil pengumpulan dan pengolahan
data keuangan yang disajikan dengan tujuan dapat membantu dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Laporan keuangan akan memberikan informasi keuangan
yang berguna bagi entitas-entitas di dalam perusahaan itu sendiri maupun
entitas-entitas luar perusahaan. Oleh karena itu laporan keuangan merupakan
media yang paling penting untuk menilai prestasi dan kondisi ekonomi suatu
perusahaan. Laporan keuangan disusun memiliki tujuan untuk menyediakan
informasi keuangan mengenai suatu perusahaan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan sebagai pertimbangan dalam pembuatan keputusan-keputusan
ekonomi.
Pihak-pihak yang berkepentingan yaitu Investor, Karyawan, Pemberi
pinjaman, Pemasok dan kreditor usaha lainnya, Pelanggan, dan Pemerintah.
Analisis laporan keuangan adalah suatu proses penelitian laporan keuangan
beserta unsur-unsurnya yang bertujuan untuk mengevaluasi dan memprediksi
kondisi keuangan perusahaan atau badan usaha dan juga mengevaluasi hasil-hasil
yang telah dicapai perusahaan atau badan usaha pada masa lalu dan sekarang.
B. Saran
Bagi perusahaan hendaknya untuk meningkatkan
kinerja keuangan perusahaan sehingga investor tertarik untuk berinvestasi pada
perusahaan tersebut. Selain itu, perusahaan juga lebih cermat dan efisien.
Bagi investor, dalam memberikan
penilaian terhadap suatu perusahaan sebaiknya juga memperhatikan faktor lain
yang mempengaruhi nilai suatu perusahaan selain kualitas laba dan aktivitas
perusahaan