Sabtu, 30 Maret 2019

Kebijakan Modal Asing Dan Utang Luar Negeri di Indonesia



DAFTAR ISI



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari serangkaian siklus akuntansi. Definisi akuntansi menurut Jusup (1994) akuntansi pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan mencatat, menggolongkan, meringkas, melaporkan dan menganalisis data keuangan suatu organisasi. Transaksi merupakan kejadian yang mempunyai nilai ekonomis bagi perusahaan. Kejadian ini dicatat dalam jurnal dan secara periodik dicatat dalam buku besar. Pada akhir periode, saldo-saldo dari semua rekening-rekening di buku besar dihitung dan dicantumkan dalam neraca lajur. Neraca lajur merupakan alat bantu untuk menyusun laporan keuangan.
 Laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan idealnya meliputi laporan neraca, laba rugi, perubahan modal, arus kas, laporan investasi oleh dan distribusi kepada pemilik, dan catatan atas laporan keuangan (Hendriksen dan Breda, 2000). Hal ini dimaksudkan agar laporan keuangan tersebut dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang kinerja dan kekayaan suatu perusahaan. Namun biasanya perusahaan membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan neraca, dan laporan laba rugi.
Laporan keuangan dibuat dengan dasar kejujuran, dan netral (artinya, laporan keuangan dibuat tidak berdasarkan atas “pesanan” dari pemilik atau manajemen). Ada banyak pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia, 2002), pihak-pihak tersebut antaran lain Investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditor usaha lainnya, pelanggan, pemerintah, dan masyarakat.




B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan makalah sebagai berikut.        
1.      Apa yang dimaksud dengan laporan keuangan?
2.      Apa tujuan dari laporan keuangan?
3.      Apa manfaat dari laporan keuangan?
4.      Siapa pengguna laporan keuangan?
5.      Apa saja syarat-syarat (karakteristik kualitatif) dalam laporan keuangan?
6.      Apa saja komponen dalam laporan keuangan?

C. Tujuan

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk:
1.      Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan laporan keuangan.
2.      Mengetahui dan memahami apa tujuan dari laporan keuangan
3.      Mengetahui dan memahami manfaat dari laporan keuangan?
4.      Mengetahui dan memahami siapa pengguna laporan keuangan?
5.      Mengetahui dan memahami apa saja syarat-syarat (karakteristik kualitatif) dalam laporan keuangan.
6.      Mengetahui dan memahami apa saja komponen dalam laporan keuangan

D.  Kegunaan makalah

Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep dalam laporan keuangan. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya tentang konsep laporan keuangan.
2. Pembaca, sebagai media informasi tentang konsep laporan keuangan baik secara teoritis maupun secara praktis.

E.  Prosedur makalah

Makalah ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis akan menguraikan permasalahan yang dibahas secara jelas dan komprehensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil data melalui kegiatan membaca berbagai literatur yang relevan dengan tema makalah. Data tersebut diolah dengan teknik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data serta mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema makalah.



BAB II

PEMBAHASAN

                                                                             

A. Kajian Teoretis

Penanaman Modal Asing atau (PMA) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau mengakuisisi perusahaan.Penanaman Modal di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal).
Penanaman Modal Asing (PMA) lebih banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya jangka panjang, banyak memberikan adil (andil) dalam alih teknologi, alih keterampilan manajemen, membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini, sangat penting bagi negara sedang berkembang mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah untuk penyediaan lapangan kerja. (Wikipedia)
Menurut Jhinggan Penanaman modal asing adalah Penanaman Modal Asing (PMA) dapat diartikan sebagai penanaman modal yang dilakukan oleh pihak swasta di negara asal pemilik modal, atau penanaman modal suatu negara ke negara lain atas nama pemerintah negara pemilik modal.

Penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi semacam itu, investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya pembangunan (Dumairy, 1999).

Demikian menurut Jhinggan (1990), negara berkembang tidak sanggup mengawali industri dasar dan industri kunci secara sendiri-sendiri. Sekali lagi melalui modal asinglah mereka dapat mendirikan pabrik baja, alat-alat mesin, pabrik elektronika berat dan kimia, dan lain-lain. Lebih dari itu, penggunaan modal asing pada suatu industri akan dapat mendorong perusahaan setempat dengan mengurangi biaya pada industri-industri lain yang dapat mengarah pada perluasan mata rata industri terkait lainnya. Dalam hal ini modal asing akan membantu mengindustrialisasikannya.
Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Menurut Tribroto (2001), pinjaman luar negeri pada hakekatnya dapat ditelaah dari sudut pandang yang berbeda - beda. Dari sudut pandang pemberi pinjaman atau kreditur, penelaahan akan lebih ditekankan pada berba gai faktor yang memungkinkan pinjaman itu kembali pada waktunya dengan perolehan manfaat tertentu. Sementara itu penerima pinjaman atau debitur, penelaahan akan ditekankan pada berbagai faktor yang memungkinkan pemanfaatannya secara maksimal dengan nilai t ambah dan kemampuan pengembalian sekaligus kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang lebih tinggi.
Dari aspek materiil, utang luar negeri merupakan arus masuk modal dari luar ke dalam negeri yang dapat menambah modal yang ada di dalam negeri. Aspek fomal mengartikan utang luar negeri sebagai penerimaan atau pemberian yang dapat digunakan untuk meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Sehingga berdasarkan aspek fungsinya, pinjaman luar negeri merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan.
Menurut Sukirno (1985), aliran dana dari luar negeri dinamakan utang luar negeri, apabila memiliki ciri - ciri merupakan aliran modal yang bukan didorong oleh tujuan untuk mencari keuntungan, dan diberikan dengan syarat yang lebih ringan dari pada yang berlaku dalam pasar internasional.
        Utang luar negeri merupakan bentuk hubungan kerjasama antara negara debitur dengan negara kreditur dan merupakan cara yang efektif dalam menutupi defisit anggaran pemerintah dimana risiko kebangkrutan ekonomi yang ditimbulkan dari utang luar negeri relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pencetakan uang (seignorage) yang dapat menimbulkan inflasi (Mulyani, 1994).
Disamping sebgai bentuk hubungan kerjasama utang luar negeri juga merupakan sumber modal bagi negara yang sedang melakukan pembangunan ekonomi, tak terkecuali negara yang kaya sumber daya alam dan memiliki penduduk yang besar, seperti Indonesia (Mahyudi, 2004).
Utang luar negeri bagi negara berkembang merupakan variabel yang banyak memiliki dampak terhadap perekonomian suatu negara, baik positif (seperti yang dikemukakan oleh Stoneman,1975; Dowling dan Hiemenz, 1983; Papanek, 1972) maupun negatif ( seperti yang diungkapkan oleh teori dependensia dan Hanovi 2009) dan apabila pengelolaannya dilakukan dengan tidak baik, utang luar negeri akan menjadi masalah bagi pemerintah, karena utang luar negeri yang terlalu besar dapat membawa pembangunan ekonomi ke dalam perangkap utang (debt trap) sehingga baanyak bergantung kepada negara kreditur (Mahyudi, 2004 ; Bullow-Rogoff ,1990).
Pemanfaatan hutang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari pembangunan khususnya negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Syaparuddin, 1996).
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara. Tingkat produktivitas suatu negara bisa juga dilihat dari pertumbuhan ekonominya. Melalui Produk Domestik Bruto (PDB) pertumbuhan ekonomi suatu negara bisa dilihat seberapa besar barang atau jasa yang dihasilkan. Menurut Mankiw (2006:6) Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan jumlah produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan menentukan seberapa besar peran pemerintah dalam proses pertumbuhan, dan disertai dengan kebijakan yang dilakukan. Dalam konsep ekonomi, terdapat kebijakan fiskal yang merupakan pengelolaan anggaran pemerintah (budget) yang terdapat dalam anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dalam rangka mencapai tujuan pertumbuhan. (Hyman, 2005:474). Keberhasilan pertumbuhan suatu negara juga ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, salah satunya ketersediaan sumber daya baik sumber daya modal dan sumber daya manusia (Anwar, 2012).
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang (Boediono, 1981:2). Sementara itu, Kuznets dalam Jhingan (2012:57) mendefenisikan petumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan  semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Sukirno (2004:50), menjelaskan “pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya dihitung berdasarkan pertambahan yang sebenarnya dari barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan suatu perekonomian”. Formula yang digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi adalah: g = PN-riil1 – PN-riil0 x 100%                    PN-riil0 Dimana; g  : pertumbuhan ekonomi PN riil1 :pendapatan nasional tahun dihitung PN-riil0 :pendapatan nasional tahun sebelumnya Terdapat satuan ukur sebagai dasar dalam menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Menurut Sukirno (2006:35), PDB merupakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor produksi yang dimiliki warga negara maupun warga negara asing dalam suatu negara. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur menggunakan indikator pertumbuhan PDB rii.

B.  Pembahasan

1.         Pengertian Pertumbuhan Ekonomi dan Modal Asing


Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara. Tingkat produktivitas suatu negara bisa juga dilihat dari pertumbuhan ekonominya. Melalui Produk Domestik Bruto (PDB) pertumbuhan ekonomi suatu negara bisa dilihat seberapa besar barang atau jasa yang dihasilkan. Menurut Mankiw (2006:6) Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan jumlah produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan menentukan seberapa besar peran pemerintah dalam proses pertumbuhan, dan disertai dengan kebijakan yang dilakukan. Dalam konsep ekonomi, terdapat kebijakan fiskal yang merupakan pengelolaan anggaran pemerintah (budget) yang terdapat dalam anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dalam rangka mencapai tujuan pertumbuhan. (Hyman, 2005:474). Keberhasilan pertumbuhan suatu negara juga ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, salah satunya ketersediaan sumber daya baik sumber daya modal dan sumber daya manusia (Anwar, 2012).
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang (Boediono, 1981:2). Sementara itu, Kuznets dalam Jhingan (2012:57) mendefenisikan petumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan  semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Sukirno (2004:50), menjelaskan “pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya dihitung berdasarkan pertambahan yang sebenarnya dari barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan suatu perekonomian”. Formula yang digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi adalah: g = PN-riil1 – PN-riil0 x 100%                    PN-riil0 Dimana; g  : pertumbuhan ekonomi PN riil1 :pendapatan nasional tahun dihitung PN-riil0 :pendapatan nasional tahun sebelumnya Terdapat satuan ukur sebagai dasar dalam menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Menurut Sukirno (2006:35), PDB merupakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor produksi yang dimiliki warga negara maupun warga negara asing dalam suatu negara. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur menggunakan indikator pertumbuhan PDB rii.
Penanaman Modal Asing atau (PMA) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau mengakuisisi perusahaan.Penanaman Modal di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal).
Penanaman Modal Asing (PMA) lebih banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya jangka panjang, banyak memberikan adil (andil) dalam alih teknologi, alih keterampilan manajemen, membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini, sangat penting bagi negara sedang berkembang mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah untuk penyediaan lapangan kerja. (Wikipedia)
Menurut Jhinggan Penanaman modal asing adalah Penanaman Modal Asing (PMA) dapat diartikan sebagai penanaman modal yang dilakukan oleh pihak swasta di negara asal pemilik modal, atau penanaman modal suatu negara ke negara lain atas nama pemerintah negara pemilik modal.


Penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi semacam itu, investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya pembangunan (Dumairy, 1999).

Demikian menurut Jhinggan (1990), negara berkembang tidak sanggup mengawali industri dasar dan industri kunci secara sendiri-sendiri. Sekali lagi melalui modal asinglah mereka dapat mendirikan pabrik baja, alat-alat mesin, pabrik elektronika berat dan kimia, dan lain-lain. Lebih dari itu, penggunaan modal asing pada suatu industri akan dapat mendorong perusahaan setempat dengan mengurangi biaya pada industri-industri lain yang dapat mengarah pada perluasan mata rata industri terkait lainnya. Dalam hal ini modal asing akan membantu mengindustrialisasikannya.

Menurut Boediono (1990:44) dalam teori makro Keynes, keputusan suatu investasi akan dilaksanakan atau tidak, tergantung pada perbandingan antara besarnya keuntungan yang di harapkan (yang menyatakan dalam persentase satuan waktu) di suatu pihak dan biaya penggunaan dana atau tingkat bunga di pihak lain. Apabila tingkat bunga yang berlaku di pasar uang sebesar 2% setiap bulan (atau 24% setahun), sedangkan keuntungan yang di harapkan sebesar 50% maka investasi tersebut masih menguntungkan karena keuntungan (kotor) yang di harapkan 50% jadi melebihi ongkos pendanaan dapat dikatakan 50% - 24% = 26% pertahun untuk 10 tahun. Maka jika pengusaha tersebut “rasional” investasi tersebut akan dilaksanakan secara ringkas :

a. Jika keuntungan yang diharapkan (MEC) lebih besar dari pada  bunga,  maka investasi di laksanakan.
b. Jika MEC lebih kecil dari pada tingkat bunga maka investasi  dilaksanakan.
c. Jika MEC = tingkat bunga maka investasi bisa dilaksanakan dan bisa juga tidak. 

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi investasi pada suatu negara. Salah satu faktor yang cukup mempengaruhi PMA adalah makroekonomi. Dengan tujuan untuk meminimalisirkan resiko investasi para investor harus memperhatikan faktor makroekonomi suatu negara, cara mengambil keputusan yang tepat, dan  menentukan bentuk PMA apa yang sesuai untuk dilakukan di suatu negara. (Sukirno, 2006:123). Menurut Madura (2007:463) mengatakan bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi PMA adalah sebagai berikut: 1) Perubahan dalam pembatasan foreign direct investment 2) Privatisasi 3) Potensi pertumbuhan ekonomi 4) Tingkat pajak 5) Nilai tukar

2.   Konsep Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, Ekonomi Pembangunan, 2011 ; 9) Suatu perekonomian dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah barang dan jasa meningkat. Jumlah barang dan jasa dalam perekonomian suatu negara dapat diartikan sebagai nilai dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai PDB ini digunakan dalam mengukur persentase pertumbuhan ekonomi Suatu negara. Perubahan nilai PDB akan menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan selama periode tertentu. Selain PDB, dalam suatu negara juga dikenal ukuran PNB (Produk Nasional Bruto ) serta Pendapatan Nasional (National Income). Defenisi PDB yaitu seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu domestik atau agregat. Salah satu kegunaan penting dari data-data pendapatan Nasional adalah untuk menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu negara dari tahun ke tahun. Dalam penghitungan pendapatan nasional berdasarkan pada harga-harga yang berlaku pada tahun tersebut. Apabila menggunakan harga berlaku, maka nilai pendapatan nasional menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut dikarenakan oleh pertambahan barang dan jasa dalam perekonomian serta adanya kenaikan-kenaikan harga yang berlaku dari waktu ke waktu. Pendapatan nasional berdasarkan harga tetap yakni perhitungan pendapatan nasional dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun (tahun dasar) yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun berikutnya. Nilai pendapatan nasional yang diperoleh secara harga tetap ini dinamakan pendapatan nasional riil. Unuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi akan selalu digunakan formula berikut: (Sukirno, Ekonomi Pembangunan, 2011 ; 9)
g = GDP1 – GDP0
X 100
GDP0
Di mana :  g = Tingkat ( Presentase ) pertumbuhan ekonomi
GDP1   = (gross domestic product atau produk domestic bruto atau dengan ringkas: PDB) adalah pendapatan nasional rill-yaitu pendapatan nasional yang dihitung pada harga tetap yang dicapai dalam suatu tahun ( tahun 1 ) GDP0 = Adalah pendapatan nasional rill pada tahun sebelumnya (tahun 0).

3.Faktor Non Ekonomi dalam Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi juga sangat tergantung pada faktor-faktor non ekonomi. Faktorfaktor non  ekonomi tersebut menyangkut masalah politik, sosial, budaya dan keamanan nasional. Ketidakstabilan politik dan konflik sosial yang terjadi akan mengganggu laju pertumbuhan ekonomi suatu negara, ditambah lagi dengan tidak adanya rasa aman bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Kondisi kerawanan negara akibat situasi non ekonomi dinamakan dengan country risk. Tingginya country risk suatu negara akan dapat menjadi penyebab utama tidak stabilnya kondisi makro ekonomi suatu negara. Arus investasi asing akan berkurang dengan tajam apabila terjadi country risk yang semakin meningkat. Selain itu, nilai tukar mata uang suatu negara juga sangat tergantung padacountry risk. Pemerintah merupakan aktor yang berperan sebagai pemegang kunci dalam menurunkan tingkat country risk, kinerja pemerintah yang baik akan membawa perekonomian kearah yang lebih baik pula dan sebaliknya apabila pemerintah tidak mampu menurunkan country risk maka mustahil perekonomian akan membaik dari waktu ke waktu.

4.Sistem Perekonomian Terbuka (Open Economy)

Perekonomian terbuka merupakan sebuah sistem ekonomi dimana orang-orang secara bebas terlibat dalam perdagangan barang dan jasa serta memungkinkan adanya arus masuk dan keluar faktor-faktor produksi. Dengan sistem ekonomi terbuka, suatu negara bisa melakukan pengeluaran lebih banyak ketimbang produksinya dengan meminjam dana dari luar negeri, atau bisa melakukan pengeluaran lebih kecil ketimbang produksinya dengan memberi pinjaman kepada negara lain. Perekonomian terbuka juga memungkinkan adanya alokasi sumber daya dimana di setiap negara memiliki kelimpahan faktor produksi yang berbeda-beda. Adanya pengalokasian ini akan memberi dampak positif bagi setiap negara yang membuka negaranya untuk sistem perekonomian bebas

5.Arus Barang Internasional

Dalam perekonomian tertutup, seluruh output dijual ke pasar domestik dan pengeluaran dibagi atas tiga komponen, yaitu konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah. Dalam perekonomian terbuka, sebagian output dijual ke pasar domestik dan sebagian lagi diekspor ke luar negeri, sehingga dalam perekonomian terbuka, pengeluaran (Y) terdiri dari empat komponen, yakni konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G) serta ekspor barang dan jasa (X). Hal ini dapat diidentitaskan seperti berikut : Y = C + I + G + X. Dalam perekonomian terbuka, nilai konsumsi total adalah nilai konsumsi barang dan jasa di pasar domestik ditambah konsumsi barang dan jasa di mancanegara, demikian pula dengan investasi dan pengeluaran pemerintah. Karena impor dimasukkan ke dalam pengeluaran domestik dan karena barang dan jasa yang diimpor dari luar negeri adalah bagian dari output suatu negara maka persamaan ini mengurangi pengeluaran pada impor sehingga dapat didefinisikan bahwa ekspor bersih (net export/NX) adalah nilai ekspor dikurang nilai impor. Identitasnya menjadi Y = C + I + G + NX. Persamaan di atas merupakan fungsi pendapatan nasional yang dihitung berdasarkan pos pengeluaran. Persamaan ini juga menunjukkan bahwa jika output melebihi pengeluaran domestik, maka kelebihan itu akan diekspor. Jika output lebih kecil dari pengeluaran domestik, maka kekurangan itu akan diimpor

6.         Konsep Penanaman Modal Asing

Arus sumber keuangan internasional dapat terwujud dalam dua bentuk. Yang pertama adalah penanaman modal asing “langsung” atau PMA, yang biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa multinasional (atau biasa juga disebut perusahaan transnasional, yaitu suatu perusahaan besar yang berkantor pusat berada di negara-negara maju asalnya, sedangkan cabang operasi atau anak-anak perusahaannya tersebar di berbagai penjuru dunia). Dana investasi ini langsung diwujudkan dengan berupa pendirian pabrik, pengadaan fasilitas produksi, pembelian mesin-mesin dan sebagainya. Investasi asing swasta ini bisa juga berupa investasi portofolio (portofolio investment) yang dana investasinya tidak diwujudkan langsung sebagai alat-alat produksi, melainkan ditanam pada aneka instrumen keuangan seperti saham, obligasi, sertifikat deposito, surat promes investasi, dan sebagainya. Sedangkan yang kedua adalah bantuan pembangunan resmi pemerintah (public development assistance) atau bantuan/pinjaman luar negeri (foreign aid) yang berasal dari pemerintahan suatu negara secara individual atau dari beberapa pihak secara bersama (multilateral) melalui perantara lembaga-lembaga independen atau swasta. Pertumbuhan penanaman modal asing secara langsung yakni yang dana-dana investasinya langsung digunakan untuk menjalankan kegiatan bisnis atau pengadaan alatalat atau fasilitas produksi seperti membeli lahan, mambuka pabrik-pabrik, mendatangkan mesin-mesin, membeli bahan baku dan sebagainya, (untuk membedakan dengan investasi portofolio) berlangsung dengan cepat khususnya masa sebelum krisis ekonomi. Pada kenyataannya, dana investasi asing akan selalu tertuju ke negara-negara atau kawasan yang menjanjikan tingkat hasil finansial dan kadar kepastian paling tinggi. Pada dasarnya, investasi (penanaman modal) secara langsung ini jauh lebih kompleks dari sekedar transfer modal ataupun pendirian bangunan pabrik dari suatu perusahaan asing di wilayah suatu negara berkembang. Perusahaan-perusahaan raksasa tersebut juga membawa teknik atau teknologi produksi yang lebih canggih, selera dan gaya hidup, jasajasa manajerial, serta berbagai praktek bisnis termasuk pemberlakuan dan pengaturan perjanjian kerjasama dan sebagainya. Investasi asing langsung juga dapat berarti bahwa perusahaan dari negara penanam modal secara de facto dan de jure melakukan pengawasan terhadap asset (aktiva) yang ditanam di negara lain. Dengan cara demikian, investasi asing langsung dapat mengambil beberapa bentuk diantaranya pembentukan suatu perusahaan dimana perusahaan investor memiliki mayoritas saham, pembentukan suatu perusahaan di negara pengimpor yang hanya dibiayai oleh perusahaan yang terletak di negara investor untuk secara khusus di negara lain, atau dapat juga menaruh asset tetap di negara lain oleh perusahaan dari negara investor. Menurut analisa neo-klasik tradisional, penanaman modal asing secara langsung merupakan hal yang sangat positif, karena hal tersebut dapat mengisi kekurangan tabungan yang dihimpun dari dalam negeri dan juga dapat menambah devisa serta membantu pembentukan modal domestik bruto..

7.   Fungsi Penanaman Modal Asing bagi Indonesia

  1. Sumber dana modal asing dapat dimanfaatkan untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
  2. Modal asing dapat berperan penting dalam penggunaan dana untuk perbaikan structural agar menjadi lebih baik lagi.
  3. Membantu dalam proses industrilialisasi yang sedang dilaksanakan.
  4. Membantu dalam penyerapan tenaga kerja lebih banyak sehingga mampu mengurangi pengangguran.
  5. Mampu meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat.
  6. Menjadi acuan agar ekonomi Indonesia semakin lebih baik lagi dari sebelumnya.
  7. Menambah cadangan devisa negara dengan pajak yang diberikan oleh penanam modal.

8.Tujuan Penanaman Modal Asing

  1.  Untuk mendapatkan keuntungan berupa biaya produksi yang rendah, manfaat pajak lokal dan lain-lain.
  2. Untuk membuat rintangan perdagangan bagi perusahaan-perusahaan lain
  3. Untuk mendapatkan return yang lebih tinggi daripada di negara sendiri melalui tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sistem perpajakkan yang lebih menguntungkan dan infrastruktur yang lebih baik.
  4. Untuk menarik arus modal yang signifikan ke suatu negara

9.   Faktor yang Mempengaruhi Berkurangnya PMA

  1. Instabilitas Politik dan Keamanan.
  2. Banyaknya kasus demonstrasi/ pemogokkan di bidang ketenagakerjaan.
  3. Pemahaman yang keliru terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah serta belum lengkap dan jelasnya pedoman menyangkut tata cara pelaksanaan otonomi daerah.
  4. Kurangnya jaminan kepastian hukum.
  5. Lemahnya penegakkan hukum.
  6. Kurangnya jaminan/ perlindungan Investasi.
  7. Dicabutnya berbagai insentif di bidang perpajakkan
  8. Masih maraknya praktek KKN
  9. Citra buruk Indonesia sebagai negara yang bangkrut, diambang disintegrasi dan tidak berjalannya hukum secara efektif makin memerosotkan daya saing Indonesia dalam menarik investor untuk melakukan kegiatannya di Indonesia.
  10. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia

10.           Kebijakan Pemerintah Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia

Pemerintah selalu mengupayakan arus modal masuk ke Indonesia semakin besar, ini diharapkan agar sesuai dengan semakin meningkatnya dana yang dibutuhkan untuk pembangunan, terutama untuk pembangunan di bidang ekonomi. Sesuai dengan kebutuhan dana pembangunan tersebut, maka pemerintah selalu berusaha untuk menarik dana investor asing dengan memberikan berbagai kemudahan melalui berbagai kebijakan.

Adapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang penanaman modal asing yaitu Undang-Undang no.1 tahun 1967. Penanaman modal asing (PMA) yang dimaksudkan hanya investasi yang meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia. Dengan pengertian bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko atas penanaman modal asing tersebut. Adapun yang dibahas pada Undang-Undang ini antara lain adalah: 1. Undang-Undang ini dengan jelas tidak mengatur perihal kredit atau peminjaman modal, melainkan hanya mengatur tentang Penanaman Modal Asing. 2. Dengan demikian memberi kemungkinan perusahaan-perusahaan tersebut dijalankan dengan modal asing sebelumnya. 3. Penanaman modal secara langsung (direct investment) dalam hal ini bukan hanya modal tetapi juga kekuasaan dan pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak asing, sepanjang segala sesuatunya memperoleh persetujuan dari pemerintah Indonesia dan sejauh mana kebutuhannya tidak melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. 4. Penggunaan kredit dan resikonya ditanggung oleh investor tersebut. Penanaman modal asing dalam Undang-Undang ini juga sebagai alat pembayaran luar negeri yang bukan merupakan bagian dari devisa Indonesia. Alat-alat perusahaan termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing serta bahan-bahan yang dimasukkan dari luar negeri ke wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut dibiayai oleh kekayaan devisa Indonesia. Bagian dari perusahaan yang berdasarkan Undang-Undang ini diperkenankan ditransfer tetapi digunakan untuk membiayai kembali perusahaan di Indonesia.
.

11.  Variabel Penanaman Modal Asing

Nilai t-statistik untuk variabel penanaman modal asing yaitu sebesar 3.688056. Apabila dibandingkan dengan nilai t tabel, maka dapat dilihat bahwa nilai t-hitung variabel ini lebih kecil dari batas kanan  t-tabelnya dengan ketentuan df(, n-k) 0,01;19 = 2.53948, maka dapat disimpulkan bahwa variabel penanaman modal asing signifikan secara statistik mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini jika penanaman modal asing naik 1% akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.081035. Dengan masuknya penanaman modal asing ke suatu negara maka akan meningkatkan produksi melalui transfer teknologi sehingga jumlah produksi dari barang dan jasa akan semakin meningkat dan berdampak pada peningkatan infrastruktur. Hal ini akan mempermudah bagi perusahaan yang ditanamkan modalnya oleh asing dalam proses pendistribusian yang bertujuan untuk meminimalisir perbedaan harga yang dialami oleh beberapa wilayah di Indonesia. Apabila hal tersebut bisa teratasi maka tingkat konsumsi di masyarakat akan baik dan akan membantu dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Sebagaiamana penelitian sebalumnya yang dilakukan oleh Syafaat Fachriza Agma (2015) yang menghasilkan bahwa penanaman modal asing mempunyai hubungan signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
` Ho tidak ditolak Ho ditolak
2.53948 3.688056.

12.  Utang Luar Negeri

Utang luar negeri dapat dilihat  sebagai sumber pendapatan. Menurut Yustika (2009:122) menjelaskan bahwa efektifitas pemanfaatan ULN diperuntukkan dalam menangani kesenjangan tabungan atau investasi dan ketimpangan neraca pembayaran untuk membantu negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan yang mandiri. Kondisi perekonomian di negara berkembang yang belum stabil memaksa pemerintah untuk melakukan ULN sebagai salah satu sumber pendanaan. Melihat dari sisi neraca pembayaran, ULN dapat menutup kesenjangan ekspor dan impor sehingga mampu mengurangi penggunaan stok nasional (Boediono, 2000:84).
 Penurunan stok nasional memberikan indikasi defisit sehingga pemerintah melakukan kebijakan ULN sebagai pengganti stok nasional dalam menanggulangi kesenjangan impor dalam neraca pembayaran. Kekurangan sumber daya berupa devisa atau tabungan domestik, salah satunya bisa didapat dari pinjaman luar negeri atau utang luar negeri. Pendekatan inilah yang disebut sebagai analisis bantuan luar negeri dua kesenjangan (two-gap model) ini mengatakan bahwa negara berkembang pada umumnya menghadapi kendala keterbatasan tabungan domestik yang jauh dari mencukupi untuk menggarap segenap peluang yang investasi yang ada, serta kelangkaan devisa yang tidak memungkinkan mengimpor barang-barang modal dan antara yang penting bagi usaha pembangunannya. Secara umum model ini berasumsi bahwa kekurangan dan kesenjangan (antara persedian dan kebutuhan) tabungan (saving gap)  serta kesenjangan devisa (foreign-exchange gap) itu tdak sama bobotnya,  dan satu sama lain berdiri sendiri. Kekurangan tabungan tidaklah dapat digantikan oleh cadangan devisa begitu juga sebaliknya, kekurangan devisa tidak pula dapat dipenuhi oleh tabungan dalam negeri. Secara matematis, model dua kesenjangan secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Kesenjangan Tabungan Dimulai dengan suatu persamaan atau identitas atas hubungan antara pemasukan modal (misalnya, selisih antara ekspor-impor) dan dengan sumbersumber yang dapat digunakan untuk investasi, dengan tingkat investasi, dengan tingkat investasi domestik, yang dapat di tulis sebagai berikut :
 I < F + Sy Dimana F adalah jumlah arus pemasukan modal. Seandainya nilai F ditambah sY lebih besar dari I, dan perekonomian itu tengah berada dalam kondisi full employment, maka bisa dipastikan bahwa tengan terjadi kesenjangan di tabungan negara tersebut.

2) Kesenjangan Devisa Jika setiap unit investasi yang dilakukan oleh negara – negara berkembang menyebabkan kenaikan impor sebesar m1, yakni pangsa impor marjinal ( marginal impor share ) di kebanyakan negara berkembang,  pangsanya ini berkisar dari 30 sampai 60 persen dan kecenderungan marjnal terhadap impor ( marginal propensity to impor) akibat naiknya 1 unit PDB dengan parameter m2, maka kesenjangan devisa itu dirumuskan sebagai berikut : (m1 – m2) I + m2Y – E < F Simbol E melambangkan tingkat ekspor eksogen. Faktor F dalam kedua ketidaksamaan diatas merupakan faktor krisis dalam analisis. Jika F, E dan Y diberikan nilai secara eksogen (ditentukan dari luar), maka salah satu dari ketidaksamaan diatas menjadi faktor penghambat investasi akan tertekan menjadi lebih rendah oleh salah satu ketidaksamaan tersebut. Dengan demikian penerapan rumus tersebut setiap negara akan dapat
Jurnal Administrasi Bisnis  (JAB)|Vol. 58  No. 2  Mei 2018|                                                                                                                        administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id    159  

diketahui masalah utamanya, apakah kesenjangan tabungan atau kesenjangan devisa. Hal ini yang lebih penting menurut sudut analisis pinjaman luar negeri adalah bahwasanya dampak peningkatan arus modal asing akan lebih besar di negara yang tengah mengalami kesenjangan tabungan ( persamaan 1 ) daripada di negara yang mengalami kesenjangan devisa ( persamaan 2 ). Namun hal ini tidaklah berarti bahwa negara-negara yang mengalami kesenjangan tabungan tidak membutuhkan utang luar negeri. Model dua kesenjangan inilah merupakan metodologi yang bersifat garis besar untuk menentukan kebutuhan serta kemampuan relatif dari masing- masing negara berkembang dalam mengunakan pinjaman luar negerinya secara efektif. (Michael P. Todaro, 1998 : 169).

13.  Konsep Utang Luar Negeri (Foreign Debt)

Utang luar negeri dapat diartikan berdasarkan berbagai aspek. Berdasarkan aspek materiil, pinjaman luar negeri merupakan arus masuk modal dari luar negeri ke dalam negeri yang dapat digunakan sebagai penambah modal di dalam negeri. Berdasarkan aspek formal, pinjaman luar negeri merupakan penerimaan atau pemberian yang dapat digunakan untuk meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Sedangkan berdasarkan aspek fungsinya, pinjaman luar negeri merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan (Tribroto dalam Muhammad Iqbal, 2001) Laffer Curve Theory ini menggambarkan efek akumulasi utang terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut teori ini, pada dasarnya utang diperlukan pada tingkat yang wajar. Penambahan utang akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi sampai pada titik batas tertentu. Pada kondisi tersebut utang luar negeri merupakan kebutuhan normal setiap negara. Namun, pada saat stock utang telah melebihi batas tersebut maka penambahan utang luar negeri mulai membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pinjaman luar negeri ini tergantung pada syarat-syarat pinjaman dari bantuan yang bersangkutan, yakni menyangkut tingkat suku bunga (interest rate), masa tenggang waktu (grace period) – jangka waktu yang tidak perlu dilakukan pencicilan utang serta jangka waktu pelunasan utang (amortization period) – jangka waktu dimana pokok utang harus dibayar lunas kembali secara cicilan. Dalam neraca pembayaran suatu negara, current account cukup dipengaruhi oleh tabungan dan investasi. Jika tabungan nasional lebih kecil dari pada investasi domestik maka selisih tersebut merupakan defisit transaksi berjalan. Tabungan nasional di beberapa negara berkembang umumnya sangat rendah karena umumnya negara berkembang miskin akan modal. Sedangkan peluang investasi produktif begitu melimpah. Untuk memanfaatkan peluang investasi ini, kebanyakan negara-negara yang sedang berkembang tidak hanya mengandalkan sumber-sumber pembiayaan pembangunannya dari dalam negeri saja tetapi juga bantuan luar negeri. Pinjaman luar negeri tersebut nantinya diharapkan dapat dilunasi melalui keuntungan dari investasi baik pinjaman pokok maupun pembayaran bunga pinjamannya. Pinjaman atau bantuan luar negeri dapat berupa pinjaman pemerintah resmi seperti official development assistance (ODA), yakni pinjaman yang diberikan oleh pemerintah asing maupun lembaga-lembaga keuangan internasional (multilateral) kepada pemerintah penerima bantuan yang dapat bersyarat lunak maupun kurang lunak. Selain itu dapat berupa non official development assistance (non-ODA), yakni pinjaman yang diterima secara bilateral dari bank atau kreditor luar negeri dengan syarat-syarat menurut pinjaman komersial atau syarat-syarat berat, termasuk kredit ekspor dari luar negeri. Pinjaman luar negeri ini tergantung pada syarat-syarat pinjaman dari bantuan yang bersangkutan, yakni menyangkut tingkat suku bunga (interest rate), masa tenggang waktu (grace period) – jangka waktu yang tidak perlu dilakukan pencicilan utang serta jangka waktu pelunasan utang (amortization period) – jangka waktu dimana pokok utang harus dibayar lunas kembali secara cicilan. Transaksi pinjam meminjam di atas kertas memang kelihatannya menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat. Tetapi banyak pinjaman juga yang tidak bisa dibenarkan. Seperti contoh, ada yang menggunakan untuk sektor investasi yang secara ekonomis tidak memberi keuntungan, atau impor barang konsumsi yang tidak menghasilkan laba untuk pembayaran nantinya. Selain itu juga rendahnya tingkat bunga nasional diakibatkan penerapan kebijakan yang keliru sehingga membuat suatu negara semakin tergantung pada utang luar negeri. Untuk menentukan dan mengatur terlaksananya pengelolaan pinjaman luar negeri yang baik dan efektif perlu dilakukan berbagai hal, antara lain yaitu:
1.Memproyeksikan secara teliti profil waktu dari kewajiban-kewajiban pembayaran utangnya.
2.Memperkirakan penerimaan hasil ekspor, penerimaan dalam negeri dan akses di masa mendatang dalam berbagai sumber pembiayaan.
3.Memonitor potensi-potensi untuk pembayaran kembali utang-utangnya. Ketiga hal ini bertujuan untuk mengambil manfaat dari pinjaman baru dengan syaratsyarat yang lebih baik, menyesuaikan jangka waktu pelunasan utang terhadap penerimaan yang dihasilkan proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman, serta menanggulangi kekurangan-kekurangan hasil ekspor dalam membiayai kekurangan impor.

14.  Bentuk – Bentuk Pinjaman Luar Negeri

Bentuk pijaman luar negeri dapat dilihat dari dua aspek, antara lain :
  1. Sumber Dananya
    Bila dilihat dari suber dananya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi:
  1. Pinjaman Multilateral
    Yaitu pinjaman yang berasaal dari badan-badan internasional,
    misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB).
  2. Pinjaman Bilateral
    Yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara baik yang
    tergabung dalam CGI maupun antar negara secara langsung (intergovernment).
  3. Pinjaman Sindikasi
    Yaitu pinjaman yang diperoleh dari beberapa bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) internasional. Pemberian pinjaman tersebut dikoordinir oleh satu bank/LKBB yang bertindak sebagai sindication leader. Pinjaman ini biasanya dalam jumlah besar dan bersifat komersial (commercial loan), misalnya dengan tingkat suku bunga yang mengambang (floating rate). Syarat-syarat pinjaman yang dituangkan dalam loan agreement merupakan konsensus dan kesepakatan diantara para pemberi pinjaman.
  1. Segi Persyaratannya,
    Bila dilihat dari segi persyaratannya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi :
  1. Pinjaman Lunak (Concessional Loan)
    Yaitu pinjaman luar negeri Pemerintah dalam rangka pembiayaan proyek-proyek pembangunan. Pinjaman lunak biasanya diperoleh dari negara-negara yang tergabung dalam kerangka CGI maupun non CGI. Pengertian dengan dana sendiri atau dana
    pendampingan oleh Pemerintah RI. Fasilitas Kredit Ekspor dapat dalam bentuk Suppliers Credit atau Buyers Credit.
    Buyers Credit adalah pinjaman FKE yang diterima dari bank komersial atau lembaga keuangan bukan bank luar negeri, dimana tujuan pinjaman tersebut adalah untuk pembelian barang dari negara pemberi pinjaman.
    Suppliers Credit adalah adalah pinjaman FKE yang diterima Pemerintah langsung dari pemasok barang (supplier) di luar negeri kepada Pemerintah RI yang akan diberikan dalam bentuk barang untuk keperluan proyek. Dapat diartikan bahwa dalam suppliers credit ini, pihak yang menerima pinjaman adalah pihak pemasok barang.
  1. Purchase Installment Sale Agreement (PISA)
    Yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan leasing untuk pembiayaan proyek pembangunan tertentu yang dituangkan dalam bentuk persetujuan jual beli dengan pembayaran angsuran. Besarnya pinjaman PISA adalah 100% dari nilai proyek.
  2. Pinjaman Komersial (Commercial Loan)
    Yaitu pinjaman yang diterima dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar modal internasional. Pinjaman ini lazim pula disebut cash loan karena pinjaman diterima dalam bentuk uang tunai dan penggunaannya lebih fleksibel atau tidak mengikat. Jumlah pinjaman komersial umumnya berjumlah besar karena pemberi pinjaman berupa sindikasi yang anggotanya terdiri atas perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internasional.
    Beberapa pertimbangan bagi Pemerintah dalam menerima pinjaman komersial adalah:
  • Mendukung penganekaregaman (diversifikasi) pinjaman atau memperluas
  • sumber pinjaman yaitu memperoleh pinjaman dari perbankan dan lembaga keuangan bukan bank.
  • Jumlah pinjaman relatif lebih besar dan tatacara penarikannya lebih mudah.
    Penggunaan dana tidak terikat pada satu proyek tertentu namun lebih
  • flesibel, baik untuk diinvestasikan kembali, untuk membiayai proyek atau untuk memperkuat cadangan devisa.

15.     Faktor Penyebab Besarnya Utang Luar Negeri

  1. Strategi defisit anggaran : strategi defisit anggaran tanpa diimbangi dengan kontrol akan sangat berbahaya. Selama ini Indonesia selalu menerapkan strategi ini, dengan harapan, jika utang kepada luar negeri, maka hasil dari utang tersebut digunakan untuk pembiayaan pembangunan, sehingga sektor riil berkembang dan harapannya pendapatan nasional dapat meningkat signifikan. Namun hasil dari pendapatan nasional ini tidak sepenuhnya digunakan untuk membayar utang luar negeri.
  2. Tidak menyadari secara penuh biaya yang harus ditanggung di masa depan Pemikiran irasional banyak mendominasi penentu kebijakan di negara sedang berkembang dalam melakukan utang (Alesina dan Tabellini).
  3. Adanya faktor sosial politik dari penentu kebijakan Faktor sosial dan politik lebih dominan dibanding faktor ekonomi dalam melakukan utang (Sebastian Edwards).

16.     Dampak Utang Luar Negeri

  Pada sisi efektifitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara Dunia Ketiga. Utang diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan.
  Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan pada pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan .
  Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB). Keduanya diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama pemegang saham utama mereka, untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman.
  Pada sisi ideologinya, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. (Erler, 1989).
  Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, utang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak langsung negara-negara kreditur diyakini turut bertanggungjawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatkan tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992).

17.              Utang Luar Negeri (Foreign Debt) dan Alasan Dilakukannya Utang Luar Negeri (Foreign Debt)

Dalam hubungannya dengan kebijaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang, bantuan luar negeri terutama dianalisa dan ditinjau dari sudut manfaatnya
untuk membantu pertumbuhan ekonomi negara untuk mencapai tujuannya. Ditinjau dari sudut ini, terdapat dua peranan utama dari bantuan luar negeri, yaitu: 1. Mengatasi masalah kekurangan tabungan (saving gap), dan 2. Mengatasi masalah kekurangan mata uang asing (foreign exchange gap). Yang mana kedua masalah yang diharapkan dapat diatasi dengan melakukan pengajuan utang luar negeri itu disebut dengan ‘masalah jurang ganda’ (The two gaps problem). Kegiatan untuk memberikan bantuan luar negeri oleh negara-negara maju kepada negara-negara yang sedang berkembang dilakukan dengan berbagai alasan, antara lain yaitu: 1. Membantu negara-negara yang menerima bantuan untuk mempercepat pembangunan ekonominya. 2. Membantu mengeratkan hubungan ekonomi dan politik diantara negara yang menerima dan memberi bantuan. 3. Membendung pengaruh ideologi yang bertentangan dengan yang dianut oleh negara pemberi bantuan. Utang luar negeri bukan hanya dibutuhkan dalam proses perdagangan, tetapi juga dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara untuk menunjang proses produksi dalam negeri. Artinya, utang luar negeri merupakan mata rantai yang menghubungkan kegiatan internal dan eksternal perekonomian suatu negara. Dalam pemahaman ini sulit sekali menyatakan bahwa suatu negara bisa saja tidak berutang sama sekali. Tetapi jelas sekali bahwa jumlah dan pemanfaatan utang tersebut harus dikendalikan dan dikelola secara benar sehingga justru tidak menjadi beban yang berkepanjangan. Sumber-sumber pinjaman luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia dalam setiap tahun anggaran yang berupa pinjaman bersumber dari: 
1. Pinjaman Multilateral  Pinjaman multilateral sebagian besar diberikan dalam satu paket pinjaman yang telah ditentukan, artinya satu naskah perjanjian luar negeri antara pemerintah dengan lembaga keuangan internasional untuk membina beberapa pembangunan proyek pinjaman multilateral ini kebanyakan diperoleh dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (BPD), Bank Pembangunan Islam (IDB), dan beberapa lembaga keuangan regional dan internasional.
2. Pinjaman Bilateral  Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang berasal dari pemerintah negara –negara yang tergabung dalam negara anggota Consultative Group On Indonesia (CGI) sebagai lembaga yang menggantikan kedudukan IGGI.  Pinjaman bilateral ini diberikan kepada pemerintah Indonesia yang bersumber dari:  
a) Pinjaman Lunak, yaitu suatu pinjaman yang diberikan berdasarkan hasil sidang CGI. 
b) Pinjaman dalam bentuk Kredit Ekspor (Eksport Kredit) yaitu pinjaman yang diberikan oleh negara-negara pengekspor dengan jaminan tertentu dari pemerintah negara-negara tersebut untuk meningkatkan ekspornya. 
c) Pinjaman dalam bentuk Kredit Komersial, yaitu kredit yang diberikan oleh bank-bank luar negeri dengan persyaratan sesuaib dengan perkembangan pasar internasional, misalnya LIBOR (London Interbank Offered Rate) dan SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate) untuk masing-masing jenis mata uang yang dipinjam.  d) Pinjaman dalam bentuk installment Sale Financing, yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan leasing suatu negara tertentu untuk membiayai kontrak-kontrak antara pemerintah dengan suplier luar negeri, karena kontrak-kontrak pembangunan tersebut tidak dapat dibiayai dari fasilitas kredit ekspor. 
e) Pinjaman obligasi, yaitu pinjaman yang dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan surat tanda berhutang dari peminjam (borrower) dengan tingkat bunga tetap, yang pembayaran bunganya dilaksanakan secara teratur dan pengembalian pinjaman (hutang pokok) pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Dalam melakukan pinjaman melalui obligasi dikenal 2 (dua) jenis obligasi yang dapat diterbitkan/dikeluarkan dalam pasar modal, yaitu : 
1. Public issues (Penerbitan Obligasi Umum)  Penerbitan obligasi dilaksanakan melalui sekelompok bank-bank yang menjamin (underwriter) dan menjual obligasi tersebut kepada masyarakat di bursa (stock exchange). 
2. Private Placement  Penerbitan obligasi secara private placement bersifat terbatas, tidak diumumkan kepada masyarakat. Dalam hal ini suatu penjualan obligasi dilaksanakan oleh emiten (issuer) kepada sejumlah bank dan investor institusional (perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana pensiun) dengan bantuan sejumlah bank dan investor institusional (perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana pensiun) dengan bantuan sejumlah penjamin emini (underwriter) yang terbatas.
 f) Pinjaman dalam bentuk Stearling Acceptance Facility, yaitu suatu pinjaman yang penarikannya dengan Bill of Exchange.Sistem pinjaman ini terdapat di Inggris sejak abad ke-17. Pada tahap permulaan sistem ini digunakan ini digunakan untuk memperoleh kredit jangka pendek berdasarkan transaksi perdagangan yang dilakukan. Bill of Change ini dapat diperjualbelikan di pasar stearling acceptance, dengan demikian dapat diperoleh dana sebelum Bill of Exchange jatuh tempo. 

18.  Latar Belakang Timbulnya Utang Luar Negeri


klhhl Dari perspektif negara donor setidaknya ada dua hal penting yang dianggap memotivasi dan melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara debitor. Kedua hal tersebut adalah motivasi politik (political motivation) dan motivasi ekonomi (economi motivation), dimana keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang satu dengan yang lainnya (Basri, 2003 : 101).  Motivasi pertama inilah yang kemudian menjadi acuan bagi AS untuk menguncurkan dana bantuan dalam merekonstruksi kembali perekonomian Eropa Barat setelah hancur saat PD II, dan program ini dikenal dengan nama Marshall Plan (Todaro,dalam Muhammad Iqbal 1985 : 89).  Kesimpulan kita cukup sederhana, yaitu bahwa bantuan luar negeri pertama-tama harus dilihat sebagai tanga panjang kepentingan negara-negara donor. Motivasinya condong berbeda tergantung situasi nasional, dan bukan semata-mata dikaitkan dengan kebutuhan negara penerima yang secara potesial berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Sedangkan motivasi ekonomi sebagai landasan kedua yang digunakan dalam memberikan bantuan, setidak-tidaknya tercermin dari 4 argumen penting : 
a) Argumen pertama didasari oleh two gap model dimana negara-negara penerima bantuan khususnya negara-negara berkembang mengalami kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik sehingga tabungan-tabungan yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan akan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam proses memicu pertumbuhan ekonomi. Dan pada sisi lain adalah kekurangan yang dialami oleh negara-negara yang bersangkutan dalam memenuhi nilai tukar asing (foreign exchange) untuk membiayai kebutuhan impor. Dengan demikian untuk menutupi kedua kekurangan tersebut maka andalannya adalah bantuan luar negeri. 
b) Kedua adalah memfasilitasi dan mempercepat proses pembangunan dengan cara meningkatkan pertambahan tabungan domestik sebagai akibat dari pertumbuhan yang lebih tinggi (growth and saving). Karena tinggunya pertumbuhan di negara-negara berkembang akan turut meningkatlkan atau berkorelasi positif terhadap kenaikan keuntungan yang bisa dinikmati di negara-negara maju.
c) Ketiga adalah technical assistance, yang merupakan pendamping dari bantuan keuangan yang bentuknya adalah transfer sumber daya manusia tingkat tinggi kepada negara-negara penerima bantuan. Hali ini harus dilakukan untuk menjamin bajhwa aliran dana yang masuk dapat digunakan dengan sangat efisien dalam proses memicu kenaikan pertum buhan ekonomi. d) Keempat adalah absorptive capacity, yakni dalam bentuk apa dana tersebut akan digunakan. Terlepas dari faktor-faktor yang dikemukakan di atas ada satu hal lagi yang perlu diingat bahwa faktor pendorong da faktor penarik (push and pull factor) adala dua kata yang menentukan terjadinya perpindahan modal ke negara-negara berkembang. Faktor-faktor ini tentu saja perpaduan antar motif ekonomi dan politik yang menjadi pertimbangan utama bagi investor yang rasional. 

Sebagai negara berkembang yang tetap konsisten dalam mempergunakan utang luar negeri dalam politik pembangunannya, Indonesia untuk masa mendatang masih tergantung pada komponen ini. Seberapa besar ketergantungannya tentu banyak faktor yang mempengaruhinya. Apapun argumennya, untuk saat ini mengalirnya dana dari luar negeri merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indinesia untuk menginjeksi dana pembangunannya.  Di era globalisasi dam dengan tingkat persaingan yang begitu besar, di samping pemerintah, pihak swasta juga memerlukan dana, akan mengakibatkan perburuan pinjaman yang bersyarat lunak akan meningkat dan tentunya akan semakin sulit diperoleh. Melihat kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan dalam pinjaman komersial seiring dengan meningkatnya peran pohak swasta dan langkahnya pinjaman resmi yang bersyarat nlunak. Oleh karena itu, tidaklah heran untuk masa perspektif utang luar negeri Indonesia dicirikan pada meningkatnya pinjaman yang bersifat komersial.  Banyak pihak yang mengkhwatirkan kondisi pinjaman luar negeri pemerintah maupun pinjaman swata cukup beralasan. Angka statistik pinjaman luar negeri Indonesia, baik pemerintah maupun swasta memang masih menunjukkan tingginya kewajiban Indonesia dalam membayar kembali pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Beberapa indikator dalam mengukur beban utang, seperti : 
a) Debt service Ratio (DSR) yang merupakan perbandingan antara kewajiban membayar untang dan cicilan untang luar negeri dengan devisa hasil ekspor. Ambang batas aman angka DSR lazimnya menurut para ahli ekonomi adalah 20%. Lebih dari itu, utang sudah dianggap mengundang cukup banyak kerawanan. 
b) Debt to Export Ratio yang merupakan rasio utang terhadap ekspor. Bank dunia menetapkan bahwa suatu negara dikategorikan sebagai negara pengutang berat, jika negara yang bersangkutan memiliki Debt to Export Ratio yang lebih besar dari 220% 
c) Debt to GDP Ratio yang merupakan rasio utang terhadap PDB. Rasio utang terhadap PDB dapat dilihat sebagai kriteria mengecek kesehatan keuangan suatu negara, dimana rasio di atas 50% menunjukka bahwa pinjaman luar negeri Indonesia membenahi lebih dari 50% Pendapatan Nasional (Basri, 2003:201) Pinjaman luar negeri tersebut tidak semua diberikan dalam bentuk rupiah atau tepatnya mata uang asing tertentu tetapi dalam bentuk bantuan proyek dan bantuan program. Bantuan proyek diberikan dalam bentuk pinjaman berupa peralatan-peralatan, barang-barang ataupun jasa (konsultan asing), sedangkan bantuan program diberikan dalam bentuk bantuan tunai.

19.  Variabel Utang Luar Negeri

Nilai t-statistik untuk variabel utang luar negeri yaitu sebesar 9,513016
Ho tidak ditolak Ho ditolak
2.53948 9.513016
Apabila dibandingkan dengan nilai t tabel, maka dapat dilihat bahwa nilai t-hitung variabel ini lebih besar dari batas kanan t-tabelnya dengan ketentuan df(, n-k) 0,01;19 = 2.53948, maka dapat disimpulkan bahwa variabel utang luar negeri mempengaruhi variabel pertumbuhan ekonomi indonesia secara signifikan pada tingkat kepercayaan 99%. Jika utang luar negeri naik 1% akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.535425. Sesuai dengan kerangka pemikiran Keynesian yang menyatakan bahwa kebijakan defisit anggaran atau APBN yang dibiayai oleh utang luar negeri akan berpengaruh positif terhadap perekonomian melalui mekanisme multiplier process. Sebagaimana penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arif Lukman Rachmad (2013) yang menunjukkan bahwa utang luar negeri memiliki penaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang diwakili oleh PDB.

20.  Solusi Utang Luar Negeri

  1. Pertama, Debt swap.  Solusi yang paling sederhana mengatasi utang luar negeri adalah dengan mengoptimalkan restrukturisasi utang, khususnya melalui skema debt swap, di mana sebagian utang luar negeri tersebut dikonversi dalam bentuk progran yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan lingkungan,dan sebagainya. Program debt swap seperti ini sudah dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50 juta (Rp250 miliar) dari total utang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam bentuk proyek pendidikan.
  2. Kedua. Diplomasi ekonomi.  Menurut Rachbini. 1994,  masalah utang LN tidak bisa lagi diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis ekonomi belaka.  Potensi internal ekonomi kita tidak cukup kuat untuk melayani utang luar negeri yang salah dalam pengelolaannya.  Kita tidak bisa secara terus-menerus menjadi "good boy" dengan melayani seluruh cicilan tersebut karena sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan mengganggu kestabilan ekonomi serta politik. 
    Suatu pendekatan diplomasi ekonomi politik harus terus menerus dijadikan program aksi (action program) untuk menghadapi lembaga dan negara donor.
    Diplomasi ekonomi juga penting dilembagakan dengan sasaran untuk memperoleh keringanan dan penghapusan sebagian hutang sehingga proses pengurasan sumberdaya dapat dihambat.
  3. Ketiga.  Adalah cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh mantan kepala BAPPENAS Kwik Kian Gie, dalam hal utang luar negeri, harus ada keberanian untuk menggugat dan tidak membayar sesuai jadwal karena pada kenyataanya Indonesia tidak dapat membayar kembali utang dan bunga yang jatuh tempo.  Hutang tersebut hanya bisa dibayar dengan cara melikuidasi kekayaan negara.  Dalam hal utang dalam negeri, supaya menarik kembali OR yang masih dalam penguasaan pemerintah melalui bank-bank yang masih milik pemerintah. 
  4. Keempat.  Adalah cara yang datang dari potensi internal pemerintah sendiri yaitu dengan menjaga kinerja makro-ekonomi dalam posisi yang stabil dan menstop hutang baru.  Untuk tawaran terakhir ini, paling tidak terdapat tiga asumsi dasar yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap.  Asumsi dasar pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga pada level antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun.  Angka terakhir pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh penjagaan keamanan yang keras dan otoriter dan arus modal masuk yang puluhan milyar setahun. Asumsi dasar kedua adalah menjaga tingkat inflasi tetap rendah-rendah (di bawah 10% setahun, idealnya 6%), medium (sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun)- Semakin rendah inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar bunga utang rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi rendah akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dari luar.Asumsi ketiga adalah dalam beberapa tahun kedepan diharapkan tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan utang luar negeri. Maka, kalau laju pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini bisa mencapai 7% setahun dan inflasi hanya 6% setahun, dan pemerintah tidak perlu menambah stock utang lagi, maka (pasti) beban angsuran utang turun dan sebagai akibatnya kita tidak perlu lagi membebani generasi mendatang dengan cicilan hutang.Kedepan, untuk mengantisipasi jeratan utang yang sangat membebani bangsa dan negara ini, maka pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik untuk mengakhiri semua hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas pengaruh dan tekanan dari pihak negara mana pun yang berkepentingan menjerat negara ini dengan utang yang sebesar mungkin.



BAB III

INTERNATIONAL JOURNAL

A.    Description of Government Foreign Debt

The trend of government foreign debt in the period of 1994-2015 are tend to be sharply increased. Government foreign debt has increased sharply since the economic crisis on 1998 from Rp 127,32 trillion on 1996 to Rp 679,12 trillion on 1998. Even on 2012 the government foreign debt reached Rp 948,30 trillion, not including the debt stock of the government. The Increasing stock of government foreign debt from year to year is clearly very worrying because it has impact on the performance of the state budget (APBN). In the short term, foreign debt really helps the Indonesian government in an effort to close the deficit of state budget, due to the financing of routine expenditure and development expenditure which is large enough. Thus, the economic growth rate can be propelled in accordance with the targets that have been established previously. However, in the long term, foreign debt gives a serious problem toward fiscal sustainability of Indonesia. Government foreign debt must be paid back along with the interest to the state or lending institutions. Thus,government foreign debt becomes a burden on government expenditure post and gives negative impact on fiscal sustainability of Indonesia.
Diagnostic Test Result Multicollinearity test in this research uses correlation matrix (matrikskorelasi). The test result about whether there ismulticollinearity problem or not can be observed in Table 1as the following.
The lag regression coefficient of government foreign debt (GFD(-1)) is marked positive in the amount of 0,123692 with probability in the amount of 0,0264. The lag probability of foreign debts is in the amount of 0,0264 smaller than the significance level =5% (0,05) and the coefficient correlaton is positive, so it can be concluded that the lag foreign debt have positive and significant impact on Indonesia’seconomic growth at the significancelevel =5%. Correlation coefficient foreign debt lag in the amount of 0,123692 means that when the lag of foreign debt increased by 1 unit, the economic growth in Indonesia rise in the amount of 0,123692 unit. The lag regression coefficient of Private Sector Foreign Debt (PSFL(-1)) is marked positive in the amount of 0,031787 with probability in the amount of 0,2867. Probability investment in the amount of 0,2867 is bigger than the significance level =5% (0.05), so it it can be concluded that the lag of Private Sector Foreign Debt does not affect significan toward theIndonesia’seconomic growth at the significance level =5%. Regression coefficient of Foreign Direct Investment (FDI) is marked positive in the amount of 0,304600 with probability in the amount of 0,0197. Probability of Foreign Direct Investment (FDI) in the amount of 0,0197 is smaller than the significance level =5% (0.05) and the coefficient regression is positive, so it can be concluded that Foreign Investment have positive and significant impact on Indonesia’seconomic growth at the significance level =5%. Regression coefficient of foreign capital investment in the amount of 0,304600 means that when Foreign Capital Investment increased by 1 unit, Indonesia’s economic growth rise in the amount of 0,304600 unit. Regression coefficient of Domestic Capital Investment (DCI) is marked positive in the amount of 0,392395 with probability in the amount of of 0,0000. Probability of domestic capital investment in the amount of 0,0000 is bigger than the significance level =5% (0,05), so that it can be concluded that domestic capital investment have positive and significant impact toward Indonesia’s economic growth. Lag Government Foreign Debt (GFD(-1)) has a positive and significant effect towards the economical development with regression coeficients as 0,123692 and probability as 0,0264. It is because of later of intent (LoI) between Indonesia and other countries and loan institutions which mantain the utilization of Indonesian foreign debt. Government foreign debt requests are espoused with the utilization of foreign debt policy package guidelines from the country or loan instutions. The policy package consists of the utilization of government foreign debt to develop the infrastucture and public facility such as impress schools, Puskesmas/clinics, hospitals, streets and bridges.Besides, loan institutions or countries also maintain the utilization of government foreign debt in order to be used for alleviation poverty programs such as BLT, raskin, and JPS, and also to develop countries’ company. All the policy package has resulted in positive effects when it was implemented in developing countries whose condition is similar and relevant to Indonesia.The utilization of government foreign debt is also supervised by the country of loan institution so that the utilization should appropriate to the policy package which has been agreed in LoI, and it is not allowed to be used by the government, for example is to employers expenses. The government foreign debt utilization to develop infrastucture, facilitation for education and health, and also for alleviation poverty programs gives positive effect towards Indonesia’s economic growth. The condition is linear to the results of a research by Quazi (2005) which is showed that foreign debt significantly increasing the GDP development in Bangladesh in 1973-1999. The cross country research which was done by Moreira (2003) in 1970-1998 showed that foreign debt gives positive impacts toward the development of economy.The foreign debt can be an intial stimulus in order to improve a better prosperity in developing country which is left behind in education field, healthy cultivation, good nutrition and residence. The results of a research by Svensson (2000) showed that foreign debt give positive impacts towards economics matters, the development of society proverty, if only the foreign debt is being used to the development and there is no moral hazard problem which is related to the use of the debt. Bulow dan Rogof (1990) dan Chowdurry dan Levy (1997) dalam Antoni (2007) conclude that the foreign debt has become one of the significant factors in improving the economical development in developing countries. A diferent result of research is stated by Syaparuddin and Hermawan (2005) which is showed that the requests of foreign debt give positive impact but it is not significant to the improvement of GDP Indonesia in 1980-2002. Lag Private Sector Foreign debt doesn’t have significant effect towards the development of economy with regression coeficient as 0,031787 and probability as 0,2867. The private sectorforeign debt mostly be used to pay the operational activity of private company, so that it does not give significant effects towards the development of economy in Indonesia. Private sectorforeign debt is not used to public sector business, but it is used to increase the supply of its company. The consequences are lag private sector foreign debt does not give significant impact towards the development of economy in Indonesia. However, a different result is stated by Adwin (2001), private sector foreign debt gives positive impact and it is significant towards Indonesia’s economic growth.
Foreign Asset Investment (FAI) gives positive and significant impacts toward the development of economy in Indonesia with regression coeficient as 0,304600, and the probability as 0,0197. The increasing of Foreign Asset Investment (FAI) affects the production activity in real sector so that the development of economy is also increased. It is linear to Solow who states that the more asset supply, the more output. If a country set aside a part of the emolument to investation, the country will have a high asset condition and high emolument (Mankiw, 2000). Foreign Asset Investment (FAI) gives positive impact toward the development of GDP because FAI is allocated to real sector, especially industri sector. FAI industri from America mostly invest in petroleum sector. Jpan, Germany, England and Netherlands FAI mostly invest in manufactur sector, not in petroleum sector. In two last decades, the industrial countries such as Hongkong, Taiwan, Singapore and South Korea have embellished FAI in Indonesia in electronic field (Saad, 2001). It is linear to a research by Rilam (1997) which concludes that a directly foreign investation development GDP Indonesia in 1969-1993 at alpha 0,10 . Foreign Asset Investment (FAI) gives positive and significant impacts toward the development of economy in Indonesia with regression coeficient as 0,392395, and the probability as 0,0000. Domestic Capital Investment (DCI)mostly directed in industrial sector such as banking industry, manufactur industry, estate industry, fishery industry, agriculture industry, mining industry, and petroleum industry. Domestic Capital Investment (DCI) which is directed in real sector causes an increasing of money supply. The increasing of money supply can trigger inflation. The goods inflation can stimulate the development of real sector. It is linear to a research by Belinda (2007) about Domestic Capital Investment (DCI). Belinda (2007) states that DCI gives positive and significant impact to Indonesia’s economic growth during the monetary crisis in 1999-2004.
The explanation of Indonesia Foreign Debt before and after leaving IMF In 2003, Indonesia decided to drop out from IMF. The following explanation is the condition of Indonesia foreign debt ratio towards realGDP before Indonesia left IMP (1994-2002) and after Indonesia left IMF (2004-2015). The comparation is not only in the amount of the debt, but also the government debt ratio toward realGDP. The consideration is that the ratio mostly describe the variation of the huge changes in government foreign debt towards real GDP in certain years. The result is presented as Table 5. From the paired sample test above, it can be shown that there is a significant ratio difference of Gofernment Foreign Debt toward real GDP before and after Indonesia left IMF with probability as 0,005 < alpha 5% . Based on the differential test which is attached in appendix, it can be said that the mean of GFD towards real GDP before Indonesia left IMF as 45,55 while after leaving IMF is 19,33. Therefore, it shows that mean GFD towards real GDP after Indonesia left IMF is lower than before leaving IMF. It can be analyzed that the decisions of leaving IMF caused ratio decline in GFD towards real GDP. However, it should be known that the amount of GFD ratio towards real GDP each year. The data analysis results showed that there is a significant difference in ratio GFD towards GDPreal before and after Indonesia went out from IMF. GFD ratio towards GDPreal experiencing significant derivation from 45,55 to 19,33. One of the reasons is the fact that repayment of Indonesian Foreign Debt from the International Monetary Fund (IMF) is as much as 3.2 billion US dollars in 2007. The Governor of Bank Indonesia at the time, Burhanuddin Abdullah, announced that the country is free from the trap of foreign debt that could haunt after the 1997 economic crisis. However, apparently Indonesia’s debt repayment for the IMF in 2007 is not the end of the special relationship between Indonesia and the international financial institutions. In 2008, the Ministry of Finance included funds as much as Rp 1,02 trillion to increase the capital of five international financial institutions, including the International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) as much as Rp 172 billion and the Asian Development Bank (ADB) as much as Rp 337 billion. The entire membership deposit funds used the state budget funds. Other than the payment for the IMF as of December 31, 2012, Indonesia deposited funds as much as Rp 30 trillion to the IMF. The cause that Indonesia has never been disconnected from the financial institutions is the existence of the binding membership. Until now, the government has never tried to renegotiate the portions of the membership in the IMF or the World Bank. Even the central government assessed that the IMF and The World Bank has been proven to participate in maintaining the global economic stability. Therefore, Indonesia still maintains its relation with the IMF and the World Bank. Consequently, although Indonesia has repaid its debt in the IMF, Indonesia foreign debt ratio to GDP is still quite large.
After paying off the debt at the IMF, Indonesia still applies for loans to various countries and institutions abroad. Data from the Directorate General of Debt Management at the Finance Ministry in early January 2014 showed that there were three agencies and three States as the largest source of Indonesian government debt. The first is the Islamic Development Bank (IDB). Indonesian government had in IDB as much as Rp 6,64 billion at the end of 2013. The amount of this debt had increased compared to the end of 2012 which as much as Rp 5,09 trillion. The second is Germany. The number of Indonesian government debt to Germany had reached Rp 23,68 trillion by the end of 2013. This number had decreased from the end of November 2013 amounted to Rp 24,19 trillion. However, when compared to the end of 2012 amounted to Rp 20 trillion, the amount of foreign debt of the Indonesian government Germany had increased. The third is France. The Indonesian government had a debt as much as Rp 25,83 trillion in the French State until the end of 2013. When compared to November 2013 amounted to Rp 26,04 trillion, Indonesia’s government debt to France had decreased, however, this debt had increased compared to the end of 2012 which amounted to Rp 21,3 trillion. The fourth is Asian Development Bank (ADB). The number of Indonesian government debt to ADB until the end of 2013 was Rp 114,42 trillion. This number had increased from November 2013 which was Rp 108,26 trillion. The value of the debt had also increased compared to the end of 2012 which was worth Rp 100,34 trillion. The fifth is The World Bank. The value of Indonesian government debt to The World Bank until the end of 2013 was Rp 163,74 trillion. This number had increased from November 2013 which reached Rp 152,33 trillion. Then, compared to late 2012 which reached Rp 122,14 trillion, the number of Indonesian government debt to The World Bank had also increased. The sixth is Japan. Indonesian government debt to Japan until the end of November 2013 was the largest, it reached Rp 257,89 trillion. This number was increased compared to October 2013 which was Rp 251,73 trillion. However, the amount of debt was increased from the end of 2012 which was worth Rp 254,64 trillion.
Foreign Direct Investment in Tanzania Foreign Direct Investment (FDI) has been subject to debates in the past two decades in both developing and developed countries. FDI has been considered as an important source of financing investments especially in emerging and developing economies. As global economies are growing and becoming more and more open due to relaxation of regulations on international trade; integration among countries has also increased resulting to global capital movement flows which are normally facilitated by the operations of Multinational enterprises (MNEs). The world investment report (WIR) published in 2012 indicate that there has been an increase in foreign investment flow in Tanzania. The report shows that during the past one year, Tanzania became the top in attracting FDI in the East African region by attracting 1.1 billion USD equivalents to (TZS 1.76 trillion). However, the report also highlighted that between June, 2012 Tanzania overtook Kenya the region’s biggest economy; indicating the high confidence among foreigner investors to Tanzania as a result of favourable environment in the country due to peace as well as many investment opportunities available. The same report pointed out that for the past three years, Tanzania has attracted about 47 percent of all FDI flows in the five East African countries. In addition, the report issued by UNCTAD in 2014, indicate that Tanzania recorded the highest FDI in 2013 within East African Community. This increase in FDI can be attributable to the Government efforts to improve the existing investment climate by reviewing the existing policies and instituting new ones geared to provide incentives to both foreign and domestic investors and make easy for investors to conduct business in the country. It is argued that FDI inflows contribute towards increased employment, increase revenue in terms of taxes collected, technology spillover and innovation to the host country.
The investment potentials available in Tanzania including agriculture and agribusiness, infrastructure development, manufacturing, tourism, financial services, mining, water resource development a few to mention. These areas have attracted many investments in the country. Again, following recently discovery of large deposits of gas in the country, the Government expects to attract more FDI in gas sector. The Tanzania parliament has recently passed gas laws to provide legal framework to be used in gas industry in order to protect and control this important resource for development. Despite the increase in foreign direct investment in Tanzania as evidenced by UNCTAD reports; there are still questions to be asked on whether the increase in FDI has a significant impact on economic growth. This is why there is a need to investigate the impact of FDI on economic growth in Tanzania. Tanzania External Debt overview Many countries in the world do borrow in order to finance various sectors of their economies especially industry, energy, transport and communication, education and agriculture among others which results in external debts. Tanzania in this regard is not on exception; for some good reasons the Government has borrowed and has been borrowing funds to finance some projects due to budget deficit or having low investment in the country on condition to repay the loan within a specific period of time. The Bank of Tanzania (BOT) recently revealed that the national debt stock hit 40 trillion TZS in July 2015 which is about four times what it was 10 years ago. The new indebtedness was an increase of 29.4 trillion of what the public debt was in July 2005. The debt increased by 24.2 trillion between December 2010 and July 2015. This is economically detrimental and puts Tanzania in awkward fiscal posture and the country’s creditworthiness locally and internationally becomes doubtful creating fear of debt crisis especially if the money borrowed were not well invested in projects that generate returns for loan repayment. According to Ndullu, (1994) a significant proportion of development investments (including textile and other factories, transport and power infrastructure) were financed through external debt, and its low productivity greatly resulted in debt servicing problems. Debt servicing is identified as a serious threat to economic growth of any country especially for low income countries like Tanzania. Perkins D. H. et al (2001) argued that foreign borrowing for a country is necessary especially if the borrowed funds are used to finance economic development. However, too much foreign borrowing and borrowing to finance consumption or poor investment can lead to big trouble. A country’s debt portfolio has to be prudently managed to ensure that they reap the gain while avoiding the possibility of crisis. The magnitude of the external debt of developing countries has caused their policy- makers to feel that this poses severe financial obstacles to national development. Debt – service payments have to be made at the expense of foregoing a number of projects and efforts to meet human needs.  Although many empirical studies confirm that FDI have positive impact on economic growth, yet the size of such impact may vary across countries depending on the level of institutional framework necessary to foster investment as well as specific policies to enable the host economy reap the benefit from FDI. This ambiguity inhibits our understanding required to promote economic growth and set clear investment policies particularly for the case of Tanzania. In addition, the question arises whether external debt has an impact on economic growth in Tanzania. The objective of this study is to investigate the impact of external debt and FDI on economic growth of Tanzania. The results from this paper are expected to contribute to knowledge on existing literature about the impact of external debt and FDI on economic growth. In addition, the study is of significance to investors and policy makers in realizing policy issues on external debt and FDI. The paper is organized in five sections, next to this section is, section two which provides a brief summary of empirical literature, section three provides methodology and model specification, while section four shows empirical results and analysis and finally section five provides summary and conclusion of the study. 2. Literature Review 2.1 Empirical Review on FDI and Economic Growth Many studies have been conducted to investigate FDI and its impact on economic growth in both developed and developing countries. Most of studies find a positive contribution of FDI to the host country’s economic growth. However, some previous studies undertaken on the impact of FDI on economic growth indicate a negative impact on economic growth. Additionally, some of empirical studies have mixed conclusions as regards to the impact of FDI and economic growth. The main reason for the different findings may be due to different methods used and specific macroeconomic variables considered for a particular country. In order to shed some light on the understanding of this area, below are the previous studies conducted in different countries.
Islam (2014) examined the impact of FDI on Bangladesh economy using secondary data for the years from 1996 – 2010. He argues that FDI in Bangladesh plays an important role in achieving expected economic growth. The results show that FDI has a positive correlation with GDP, export and private investment. Similarly, SidratulMuntah et al (2015) investigated the impact of Foreign Direct Investment on economic growth of Pakistan. Their findings indicate that FDI is positively related with GDP. Their conclusion is that Pakistan should adopt the FDI projects to promote economic growth. Again, Ayanwale (2007) examined FDI and economic growth in Nigeria. The findings for the study show that FDI induces nation’s economic growth. Although the overall effect of FDI on the whole economy may not be significant. Additionally, Melnyk et. al (2014) investigated the impact of forign investment on the growth of 26 post communism transition economies from 1998 to 2010 and suggested that FDI has influence on growth of these economies. Al Khathlan, (2014) used co- integration technique to investigate the long-term relationship between FDI inflows and economic growth from 1980 to 2010 in Saudi Arabia. He found a positive significant relationship with economic growth. On the contrary, a study on the impact of foreign direct investment on economic growth of Pakistan by Saqib et. al (2013) reveal that Pakistan’s economic performance is negatively affected by foreign investment while its domestic investment has benefited its economy. It can therefore be argued that domestic investment would benefit the country’s economy, and the dependency on foreign investment should remain limited. In this regard, it seems that most of the benefits of foreign investment get diluted at the hands of the repatriation of profits back to the investor nation. This can also be explained by the limited capacity of the host country to diffuse the transfer of knowledge and technology for further development. In a different perspective, Alfayo (2003), using cross –country data suggest that total FDI exerts an ambiguous effect on growth. He further argued that foreign direct investment in the primary sector tends to have a negative effect on growth, while investment in manufacturing a positive effect. Evidence from the service sector is ambiguous.  2.2 Empirical Reviewon External Debt and Growth Wamboye (2012) evaluated the impact of public external debt on long term economic growth of fourty least developed countries (LDC’s) using unbalanced panel data from 1975 – 2010. The findings on this study suggest that high external debt depresses economic growth, regardless of the nature of the debt. In addition, debt relief initiatives are crucial as evidenced in the lower negative debt effects on growth in HIPCs sub - sample relative to non - HIPCs. Michael and Sulaiman (2012) examined the impact of external debt on the level of economic growth and the volume of investment in Nigeria for the period 1980 – 2008. The results of their analysis indicate that there exists a positive relationship between external debt, economic growth and investment. Their findings indicate that external debt ratio of GDP stimulates growth in the short - term; the private investment which is a measure of real and tangible development shows a decline. According to Benedict et.al, (2003) a large external debt can also affect growth through the crowding out effect or by affecting the composition of private investment. An increasing debt service may increase the government’s interest bill and the budget deficit and consequently, cause the long-term interest to rise or simply crowd out credit available for private investment (Gale and Orzag, 2003; Baldacci and Kumar, 2010). Similarly, heavy debt burdens acts to reduce investment through both debt overhang and the crowding out effect (Iyoha, 1997). Chauvin and Kraay (2005) show that debt relief in 62 developing countries between the years (1989 – 2003) did not improve the institutional quality nor lead to rising FDI or higher rates of economic growth. In summary the previous literature on the impact of FDI on economic growth are inconclusive. While some studies show a positive relationship other studies indicate a negative influence on economic growth. However, the overall effect of FDI on the whole economy provides ambiguous results. This ambiguity necessitates a further investigation particularly for Tanzania where the trend of FDI flows is on increase. On the other hand, external debt as another source of finance has been increasing on yearly basis due to deficit budget especially for development projects. The burden to the nation is extremely high as the external debt tends to attract interest. Our study therefore investigates the impact of FDI and external debt on economic growth. 3. Methodology and Model Specification 3.1 Data and Methodology The data were collected from the INDEX MUNDI which provides data from IMF and World Development Indicators (WDI) websites. The data are fully secondary and covers the period of years 1971-2011. However, we apply econometrics methods to assess the impact of FDI and external debt on economic growth.
The model is developed based on six (6) variables, RGDP, PD, FDI INFL, EXRATE, PRED and NODA. It is assumed that RGDP (Real Gross Domestic product ) is a function of PD (external Debt), FDI_ INFL (FDI Inflow), EXRATE (Exchange Rate), PRED (Principal repayments on external debt) and NODA (Net official development assistance). In other words these RGDP is a dependent variable and the remaining five variables are explanatory variables.

B.     The Financial Market

The international financial market over the world has grown very fast in the recent years. The private capital market is consistently improving since 1997. The buoyant capital flows among the nation boundaries have raised the existing strength of the financial market domestically as well as internationally. The markets over the world, particularly the financial markets are largely affected by the hedge funds. The use of hedge funds has allowed the trading activities with large number of dealers. Traditionally the banks were involved in the activities of lending and receiving deposits. In essentially a market for long term securities that is stock, debenture and bonds lasting for usually longer than three years. The proper functioning of the capital market was not set up until the establishment of the Central Bank in 1959 and launching of the Lagos stock exchange in 1961even though securities were floated as far back as 1946. The needs to have an organized stock exchange came up and committee was set up by the government under the chairmanship of Prof. R.W.Barbock to consider the feasibility of having indigenous forum for the purchase and sales of shares and stocks.  The Nigerian security and exchange commission (NSEC) is the apex institution for the regulation and monitoring of the Nigeria capital market. The commission was established under the security and exchange commission decree 1979, operating retrospectively from 1st April 1978. Prior to the SEC, two bodies had in succession been responsible for the monitoring of capital market activities in Nigeria. The first was capital issues committee, which operated between 1962 and 1972. It could not be seen as the superintendent of the capital market because its functions were more or less advisory without the force of instruction even through its functions included the coordination of capital market activities. The next body was the capital market issues commission (CIC) which came into being in March 1973. The C.I.C, unlike its predecessor, had full powers to determine the price, timing and volume of security to be issued. Despite this wider power, the CIC could not be seen as the apex of capital market because it concerned itself with public companies alone and its activities did not cover the stock exchange and government securities. The enabling Act of the Securities and Exchange Commission specifies its overriding objectives as investors’ protection and development while its functions were divided into two regulatory and development. The functions of the commission are extensively spelt out in Nigeria Securities and Exchange Commission Decree (Decree No 29) of 1983 and the Nigerian Enterprises Promotion Decree 1990. According to section (6) subsection (9) to (10) the commission is charged with the following duties and functions among others.   Determining the amount of price and time when securities of companies are to be sold to the public whether through offer for sale or subscription.   Registering all securities proposed to be offered for sale to or for subscription by the public. The Nigerian Stock Exchange As one of the constituencies of the capital market, the exchange is a private, non-profit making organization, limited by guarantee.   It was incorporated via the inspiration and support of businessmen and the federal government. Own by about 300 members. The membership includes financial institution, stockbrokers and individual Nigerians of high integrity, who have contributed to the development of the stock market and Nigerian economy. The Nigerian stock exchange started with the incorporation of the then Lagos stock exchange in 1960. Trading broadening the ownership base of family-owned and dominated firms.
Developing Nations  Many nations of the world are being rated in different ways based on certain criteria in which the United Nations outlined. This criterion helps the world body to know which areas need more assistance in terms of development and at which level the body could help in directing its development strategies. According to the World Trade Organisation, they don’t have any definition for developed or developing nations. Member nations willingly announce for themselves whether they are “developed” or “developing” countries. This decision could be challenged by other member nations, because certain provisions are being outlined for developing nations. The classifications of developing and developed nations are based on several variables which are social, technological, economical and political factors. According to oxford dictionary of economics, countries with less advanced technology and or lower income levels than the advanced industrial countries are less developed nations. Majority of the countries in Africa fall under this category, because they are less technologically advanced and low income, so also those in Asia and some parts of South America. From the International Statistics Institute website, developing nations are defined according to their Gross National Income (GNI) per capita per year. Countries with a GNI of US$11,905 and less are defined as developing. Based on the list of developing countries outlined by the institute which represented the less developed countries for the year ended 30th December 2014, countries that are slightly over the amount of US$11,905 will be considered a developing country for the year 2014 and their situation will be reviewed for 2015. In a further classification of developing countries, some analysts using the UN classification system, prefer to distinguish among the three major groups within the third world, the 44 poorest countries designated by the United Nations as "least developed, the 88 nonoil-exporting "developing nations," and the 13 petroleum-rich members of the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), whose national incomes increased dramatically during the 1970s. Others follow the classification system established by the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) in Paris, which divides the Third World (including countries and territories not in the U.N. system) into 61 low-income countries (LICs) (those with a 1990 per capita income of less than $600, including 29 least developed countries, or LDCs), 73 middle-income countries (MICs), 11 newly industrializing countries (NICs), and the 13 members of OPEC (Todaro & Smith 2011, p.28). Owing to the analysis carried out by the economist using the UN information, the third world countries which is usually referred to as developing nations are being differentiated, because within the third world countries there are still countries which meet with the over US$11,905 benchmark placed by the UN statistics. The UN data states clearly that 88nations fall within the developing nations of the world. In the World Bank’s classification system, 210 economies with a population of at least 30,000 are ranked by their levels of gross national income (GNI) per capita. These economies are then classified as lowincome countries (LICs), lower-middle- income countries (LMCs), upper-middle-income countries (UMCs), high-income OECD countries, and other high-income countries. (Often, LMCs and UMCs are informally grouped as the middle-income countries.)(Todaro &Smith,2012, p.39). Based on quite a number of exceptions developing countries are those with low, low middle and upper middle incomes. The World Bank which is also referred to as International Bank for Reconstruction and Development works in collaboration with the United Nations in setting characteristics for the classification of the categories of developing nations. A situation where 210 economies are classified as developing nations is enough clientele for loan disbursement by the world body, showcasing a great business opportunity for the World financial body.
Debt and Development Before going into detail, it should be recalled that the reasons for countries accruing of debts are for the development and poverty alleviation of their respective economies and nations. The two words work closely related in terms of nation building, economic growth and development, the methods of implementation of policies which are outlined by the donor agencies are some of the greatest problems of the receiving nations. There are several ways in which debt can affect a countries development. First, it is important to understand that government debt is a way of raising funds, keep the balance between revenues and expenditures while at the same time evenly offsetting the construction funds. Second, adjusting a country’s industrial structure, regional structure as well as promote a stable development of the national economy. Finally, debts will help improve the liquidity when it comes to international payments (Qui 2010, p.5).  In business, funds are being raised to finance several projects which a company deems vital for profit generation for the company. It is not out of place for nations to canvass for loans to increase the size of its financial functions to fill the gap of economic situations, to compensate budget deficit and overdraft for banks so as to avoid inflation. As the budget deficit could arise from government need to finance mega projects that will boast the nation’s development and growth. In order to adjust a countries industrial structure, nations seek for technical assistance and policy advice from international agencies like the IMF on better ways to upgrade its industrial base. External financial supports, when used productively accelerate the pace of economic development. It will not only provide foreign capital but will also give managerial know-how, technology, technical expertise as well as access to foreign markets for the mobilization of a nation’s human and material resources for development purposes. Specifically, loans can be used in areas such as increasing agricultural production of goods for export, mineral exploration, industrialization, transport and communication, rural and urban development, heath care services, balance of payments, tourism, infrastructural development etc (Anyanwu, 1997 p.631). This is one key motivator for the growth and development of a nation. Many nations cannot finance the improvement of its nation’s industrial base as advised by the agencies; the result of this is consulting debt agencies for funds on this catalyst for development. These measures would help the entire country to benefit from the economic development and thus prevent a big financial and social gap between different regions or social classes. With the development of International relations, all nations have various dealings with other nations, be it economical or socially and payments are being effected on the international scene to offset certain transactions with foreign bodies and foreign nations. This foreign debt helps to boast a nation’s foreign liquidity and assist in clearing of nation to nation bottlenecks which gives the opportunity for productivity.            External debt is the total private and public debt owed by a country (Todaro & Smith 2012, p.650). In this era of economic development where the supply of domestic savings is low, the common phenomenon for developing countries has become the accumulation of external debt. Before the 70’s external debts of nations are literally low and loans are being disbursed to developing nations by specified United Nations agencies like IMF, World Bank (International Bank for Reconstruction and Development) and regional development banks with low interests to enhance countries development projects and importation of capital goods. Subsequently in the late 70’s and 80’s other financial institutions embarked on same duty of these specialised UN agencies recycling OPEC “petrodollars” (Todaro & Smith 2012) and issuing all purpose loans to developing countries to provide balance of payments support and expansion of export sectors. Due to the low interest rates of foreign borrowing, nations benefit should be countless on the loans, but owing to the mismanagement and wrongly designed and implementation of economic policies, these benefits have turned into problems for most developing nations. The cost of these loans has outweighed the benefits at which the loans are meant to proffer to the economy, hence debt service.            Debt service is the payment of amortization (liquidation of the principal) and accumulated interest; it is a contractually fixed charge on domestic real income and savings (ibid). Various analyses made on several developing countries who ventured in loans and foreign debt revealed that it hampered the growth and development of most of these countries, while it was a measure to rather boast these economies. Adepoju, Salau&Obayelu (2007) analyzed the time series data for Nigeria over a period from 1962 to 2006. Exploring time to time behaviour of donor agencies as an outcome of various bilateral and multilateral arrangements, they concluded that accumulation of external debt hampered economic growth in Nigeria. African nations who form the bulk of the developing countries are not the only affected nations in the foreign debt saga, most of the pacific nations who were also involved in foreign debt are not better placed after the involvement in the foreign debt. Focusing on the flow of foreign aid in 6 Pacific Island countries over the period of 1988-2004 shows that these countries had been among the top recipients of foreign aid till early 80s, but later on could not maintain the level of higher aid inflows due to change in political situation thereby subsequently fell into the trap of twin deficits (Jayaraman &Evan 2008).

C.    The Importance of Domestic Financial Development

It may well be that we do not have a complete specification. Countries that are more open also have better developed financial markets (see Kose et al., 2006). Financial integration may proxy for financial development. We should therefore include an interaction between our proxies for the country’s domestic financial development and an industry’s dependence on finance to check if the effects of foreign capital persist even after we control for domestic financial development. Our primary proxy for financial development is the ratio of domestic credit to GDP. A second proxy is the country index of the quality of corporate governance constructed by De Nicolo, Laeven and Ueda (2006) (which is available for fewer countries and also does not vary across time). 
Also, we should check for threshold effects – the benefits of foreign capital may kick in only once a country’s domestic financial development is above a certain level (see Chinn and Ito, 2005, and Hammel, 2006). So we include a separate interaction between our measure of foreign capital penetration and an industry’s dependence of finance if the country is below the median level of financial development (as measured by domestic credit to GDP). Since this is a triple interaction, we also have to include all the relevant double interactions. So the final specification is Growth.


BAB IV

PENUTUP


A. Simpulan

Laporan keuangan adalah hasil dari proses akuntansi pada suatu periode waktu tertentu yang merupakan hasil pengumpulan dan pengolahan data keuangan yang disajikan dengan tujuan dapat membantu dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Laporan keuangan akan memberikan informasi keuangan yang berguna bagi entitas-entitas di dalam perusahaan itu sendiri maupun entitas-entitas luar perusahaan. Oleh karena itu laporan keuangan merupakan media yang paling penting untuk menilai prestasi dan kondisi ekonomi suatu perusahaan. Laporan keuangan disusun memiliki tujuan untuk menyediakan informasi keuangan mengenai suatu perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan sebagai pertimbangan dalam pembuatan keputusan-keputusan ekonomi.
Pihak-pihak yang berkepentingan yaitu Investor, Karyawan, Pemberi pinjaman, Pemasok dan kreditor usaha lainnya, Pelanggan, dan Pemerintah. Analisis laporan keuangan adalah suatu proses penelitian laporan keuangan beserta unsur-unsurnya yang bertujuan untuk mengevaluasi dan memprediksi kondisi keuangan perusahaan atau badan usaha dan juga mengevaluasi hasil-hasil yang telah dicapai perusahaan atau badan usaha pada masa lalu dan sekarang.

B.  Saran

Bagi perusahaan hendaknya untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan sehingga investor tertarik untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut. Selain itu, perusahaan juga lebih cermat dan efisien.
Bagi investor, dalam memberikan penilaian terhadap suatu perusahaan sebaiknya juga memperhatikan faktor lain yang mempengaruhi nilai suatu perusahaan selain kualitas laba dan aktivitas perusahaan

DAFTAR PUSTAKA

 

https://sudutekonomi.blogspot.com/2017/01/pengertian-utang-luar-negeri.html